BAGIAN 4 - TUGAS KELOMPOK

Start from the beginning
                                    

Ditengah bangunan terdapat halaman terbuka cukup luas. Tersedia pula toko, ukurannya tak terlalu besar tepat di seberang bengkel seni dengan nama yang sama, hanya di tambahi embel-embel toko, cukup digunakan sebagai tempat menjual hasil karya anak-anak dan 100% keuntungan yang terkumpul dibagi ke anak-anak, itupun mereka tabung tanpa paksaan maupun suruhan. Mereka hanya anak yang kurang beruntung. Tak lupa disamping toko ada kelas yang berguna untuk mengajar anak-anak. Bisa dibilang sekolah juga.

Lanang tak sendiri, dia bersama teman-teman mengelola tempat itu. Tak perlu mengeluarkan biaya, anak-anak bisa masuk secara gratis. Bagi yang mau pastinya. Awalnya Lanang dan kawannya patungan dalam hal mengumpulkan dana. Lambat laun, donatur pun bermunculan.

Alhamdulillah, terima kasih.” Ucap kasir toko bengkel seni, Lian, si pria berdimple. Teman seperjuangan Lanang, yang sering dijuluki juga sama yang lain double L.

“Laris Li?” Tanya Lanang yang baru masuk toko.

“Kemana aja lo? Gue ditinggal sendiri.” Bukan ngejawab, Lian malah balik nanya.

“Ada yang lain kali.” Tukas Lanang.

Cih!”

Assalamu’alaikum,” salam seseorang bersamaan dengan bunyi lonceng pintu toko.

Wa’alaikumsalam.” Jawab Lanang-Lian bareng.

“Aska, sendirian?” Lanang langsung bertanya saat tahu itu Aska. “Mana Panji? Biasanya bareng?”

“Biasa lah Mas, Panji kan mahasiswa teladan. Masih nugas dia.” Celoteh Aska.

-WFTW-

“Tenang aja, gue bakal jelasin ke si Gendis biar dia paham.”

“Siplah, kita bisa langsung kesana besok. Gue minta izin dulu sama Abah. Oke?”

“Siap boss!” Atta ketawa karena tingkah Kula. Mereka berpisah di depan gerbang sekolah. Atta selalu diantar jemput sama sopir pakai mobil keluarganya.

Jarang-jarang Kula-Gendis pulang bareng. Gendis memang tak pernah ikut extrakurikuler, Gendis memang malas soal begitu, cuma Kula saja. Jadilah mereka di dalam satu taksi, tapi diam tak ada yang bersuara.

“Dek?” Gendis yang lagi lihat ke luar jendela nengok. “Nggak jadi, ntar di rumah aja.”

“Ih, plin-plan emang.”

Ketika sampai rumah, Mamah pun heran si kembar pulangnya tak sendiri-sendiri.

“Tumben Mas udah pulang, bukannya Mas extra rohis?” Tanya Mamah yang lagi nonton teve.

“Nggak Mah, Attanya lagi ada urusan.” Jawab Kula, sekalian nyomot martabak telor di piring dan melahapnya.

“Jorok,” ucap Gendis sekembalinya dari dapur habis cuci tangan.

“Cuci tangan dulu Mas,” si Mamah negur.

“Vitamin, Mah.”

“Jadi kamu bolos rohis karena Atta?” Mamah tanya lagi. Gendis ikut duduk di sofabeds, sungguh tertarik cuma dengar nama Atta. Sambil searching tentang Atta dari obrolan Kula sama Mamah.

“Nggak lah Mah, Atta ketuanya. Dia yang liburin extranya juga.” Mamah cuma ber-oh ria. Beda lagi dengan Gendis yang tak tahu sama sekali tentang extra yang Kula ikuti.

“Sejak kapan Mas ikut rohis?” Tanya Gendis polos. “Kok adek nggak tau ya?”

“Apa si yang adek tau.” Ejek Kula yang hobi ngacak rambut Gendis dan kabur.

“Ih Mas nyebelin!”

“Oh iya Mah,” Kula balik lagi. “Mulai besok Kula sama adek pulangnya sorean ya?”

“Mau apa?”

“Mau praktek interaksi sosial di pesantren. Cuma sampe akhir minggu ini si Mah.” Jelas Kula yang berdiri dan menyimpan tangan kirinya disaku celana. Gendis cuma menjadi pendengar yang baik karena memang belum tahu rencananya. Atau cuma dia doang yang belum tahu.

“Iya, bilang sama Bapak ya?”

“Iya. Dan buat adek, jangan lupa bawa jilbab.” Kula menekankan kata jilbab.

-WFTW-

Tangannya sibuk menjajal kain segi empat warna putih dikepalanya. Disematkan jarum pentul warna senada hati-hati. Pantulan wajahnya dicermin membuatnya diam.

“Ah! Nyebelin! Kenapa ujungnya selalu begini.” Lelah Gendis menata jilbabnya yang tak sempurna dibagian ujungnya.

Gendis! Buruan!” Teriakkan Kula terdengar dari bawah.

“Iya, bentar!” Gendis melepas kerudung yang dipakainya sekarang, menata rambut yang berantakan dan menyambar kerudung putih instan ala anak sekolahan, tak lupa ciput rajut punya Mamah.

“Lama deh,” gerutu Kula yang sebal saat Gendis udah tiba di teras rumah, terengah-engah.

“Piranha,”

“Ha?” Kula bingung sama ucapan Gendis.

“Kan sodaranya bawel,” Gendis menjulurkan lidah guna mengejek Kula.

“Awas lo dek!”

Mamah dan Bapak saling berpandangan melihat tingkah kedua anak kembarnya yang mirip kucing sama tikus.

“Mamah ngidam apa sih? Anak kita begitu kelakuannya.” Goda Bapak.

“Ih Bapak!” Mamah menyentil mulut Bapak, tidak keras, tapi membuat Bapak meringis namun diselingi cekikikan mereka berdua.

-WFTW-

Nudhar


Lian


Huhuhu, garing pemirsah,, karena blum ada konflik..
Maafkan diriku inii...🙏🙏🙏
Ah udahlah,..
Gambar bukan milik saya.

Salam hangat,
HOI



We Find The Way ✔Where stories live. Discover now