Laugh Like A Child

93.4K 5.8K 176
                                    

Setelah semua yang terjadi, memang seharusnya aku nggak tidur, apalagi aku nggak makan banyak semalam. Seharusnya aku kelaparan. Nggak tahu juga kapan aku meremnya. Pas bangun, aku sudah ada di tempat tidur. Bajuku sudah ganti. Sepatuku juga sudah dilepas. Aku langsung duduk tegak.

Di sebelahku ada yang tidur dengan napas berat. Tubuhnya dibalut selimut dari kepala sampai kaki. Dia meringkuk di ujung lain tempat tidur.

Drey?

Aku menelan ludah. Masa Drey berani tidur sama aku di depan Karin sama tundra?

Pelan-pelan, kubuka selimut yang menutupi kepalanya. Karin! Astaga! Kampret ini napasnya kayak laki-laki.

Aku berbaring lagi. Bernapas lega. Lalu, tertawa sendiri karena sadar kalau aku sedikit kecewa karena Drey nggak di sini. Gemas, kupeluk Karin erat-erat sampai dia menggeram.

"Ana, mati aja lo!"

Aku mengikik sambil memeluknya lagi.

"Napas lo bau bangkai, Nangka Belanda!" geram Karin lagi.

"Kan semalam gue nggak sikat gigi," kataku sambil menyingkap rambut yang menutupi wajahnya. "Kok lo mau sama abang gue, sih?"

Karin tersenyum. "Dia cowok yang selama ini gue cari." Setelah menelan ludah sambil senyum-senyum, dia melanjutkan, "kami ngerencanain Savanna tuh sudah sejak di Simply Breeze, Ana. Gue kasih dia semua duit di ATM gue. Tempat juga itu punya Tante gue dulunya. Ntar mau kami beli. Lo tau, abang lo tuh tanggung jawab banget sama duit. Dia juga orangnya tegas pas ngatur pekerja di sana. Dia ... cowok yang gue percaya untuk masa depan gue."

Kalau soal itu, aku memang bangga sekali sama Tundra. Dia memang didik dengan keras untuk jadi orang yang tanggung jawab dan jujur. Makanya, kerja di mana pun Tundra selalu jadi yang terbaik. Cuman orangnya nggak suka diatur-atur orang lain. Makanya kalau ketemu bos yang diktator, dia nggak bakalan betah.

"Terus, lo mau nikah gitu sama Tundra?"

Karin mengangguk cepat, terus menutup wajahnya dengan selimut dan mulai menjerit-jerit genit.

"Beruntung deh lo. Tundra memang orang yang pas buat jinakin setan kayak lo." Mukaku ditabok bantal begitu kalimatku selesai. "Tapi, emang ortu lo rela lo nikah gitu aja? Lo kan belum cerita kalau lo berhenti kuliah?"

"Gue cari cara deh entar buat kasih tahu mereka. Itu masalah gampanglah entar. Yang nggak gampang itu lo, Babe. Lo itu gimana sama Drey?"

Giliran aku yang harus tutup muka pakai selimut. Karin menjambak selimutku. Sebentar kemudian kami sudah jambak-jambakan selimut. Aku baru menyerah pas dia berhasil mendudukiku.

"Gue ... sayang dia, Kar."

"Lo yakin?"

Aku mengangguk.

"Dia gimana? Dia nggak sungkan loh ngumumin kalo nggak percaya cinta. Astaga, dia nggak mau gitu bohong buat nyenengin lo?"

"Karena dia memang nggak diajarin buat mengenal gituan, Kar. Yang dia pahami itu 'need', kebutuhan. Kalau dia butuh sama seseorang berarti orang itu punya arti penting dalam hidup dia."

"Jadi, kalau dia butuh mulut Sienna buat ena-ena bakalan dilakukan gitu?"

Kutarik napas panjang. Kalimat Karin pas banget nancep di hati. Apa dia hanya akan memasukkan orang-orang yang dibutuhkannya ke dalam inner circle? Apa dia bakalan buang aku kalah sudah nggak butuh? Apa aku cuma pemuas kebutuhan dia untuk disayangi?

"Ini memang gila sih, Kar." Mataku tiba-tiba terasa panas. "Gue ... gue ngerasa Drey punya sesuatu yang selama ini gue butuhkan. Drey itu punya sesuatu yang selama ini gue cari."

Filthy Shade Of Drey (Terbit; Heksamedia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang