And Then ...

110K 9.2K 209
                                    

Aku menelan ludah, lalu bernapas cepat, berusaha mengumpulkan semua keberanian.

Tuhan, jika memang terjadi, terjadilah. Tapi, biarkan aku mengerahkan seluruh tenagaku dulu. Aku nggak akan menyerah, Tuhan. Nggak akan. Ini perjuanganku.

Setelah ambil napas panjang seperti mau nyelam, aku nyelonong menghadap meja dekan. Mbak Mela mendesis-desis melarangku masuk. Bodo amat. Mendengar langkahku--dan mungkin desisan Mbak Mela, Drey dan Pak Dekan yang perutnya bulat itu kompak berpaling kepadaku.

"Nah, ini kan yang namanya Savanna?" Pak Dekan berdiri mengulurkan tangan kepadaku. Drey juga ikut berdiri. Dia tersenyum formal, seolah kami belum kenal, seolah dia nggak pernah ngerayu aku.

"Pak Krisna Dreyfus barusan cerita tentang kamu. Wawancara hebat ya katanya? Kamu nggak pernah cerita kalau masuk jurnalistik."

Wawancara? Klub jurnalistik? Maksudnya yang di mobil itu? Memangnya kenapa aku harus kasih tahu itu semua ke Dekan? Bukankah sebelum ini aku nggak pernah dianggap ada?

"Pak Krisna Dreyfus menyatakan ingin memberikan beasiswa penuh untuk kuliahmu di sini karena dianggap memiliki prestasi membanggakan. Kamu juga punya akses untuk mengembangkan diri di bidang yang kamu sukai. Semua itu gratis. Kamu bisa memilih--"

"Maaf, Pak. Saya ..." Aku menelan ludah, bingung. "Saya nggak ngerti."

"Begini, Savanna." Bapak setengah botak itu berdeham beberapa kali. Biar suaranya terdengar bagus kali. "Beasiswa kamu kan akan hangus karena kamu tidak mengikuti ujian beberapa hari ini. Saya sudah membaca laporan dari bagian akademik tadi. Kamu memang akan dikeluarkan. Tapi, Clover Bank yang terkesan dengan prestasimu di bidang jurnalistik dan liputan pribadi waktu itu dengan Pak Drey ..." Pak Dekan menunduk pada Drey, lalu menatapku lagi. "Pokoknya kamu secara resmi sekarang menjadi tanggung jawab Clover Bank. Tadi kami sudah menandatangani semua surat yang dibutuhkan. Nggak ada masalah. Kamu temui saja dosen-dosenmu untuk meminta ujian susulan. Kamu memiliki masa depan yang cerah, Savanna."

Hah?

Drey maju dan menyalamiku dengan gaya resmi. Sebelah tangannya disanggah arm support hitam yang serasi dengan jasnya. "Senang bisa mengenalmu, Savanna. Kapan-kapan kita bisa ngobrol lagi dan kamu bisa presentasi tentang ide-idemu yang luar biasa itu dalam bidang perbankan. Bahkan jika mungkin, kamu bisa bergabung dengan Clover Bank segera."

Drey mabok apa, sih? Ide apa? Biar bikin kaya perusahaan rentenir dia? Harusnya dia baca ulasanku tentang bunga bank yang sekarang mulai nggak masuk akal di seminar manajemen perbankan bukan kemarin.

Dia berpaling lagi pada Dekanku yang gendut. "Saya permisi dulu, Pak. Ada banyak agenda yang saya lewatkan hari ini," katanya sambil mengulurkan tangan.

Kukira Pak Dekan bakal mencium tangan Drey. Dia menunduk rendah sekali. Yah, begitulah kelakuan orang yang gila uang, menjilat sekali sama orang kaya.

"Saya ingin bicara sebentar dengan Savanna. Apa boleh?" Suaranya resmi banget kayak kami belum pernah kenal gitu.

Pak Dekan tertawa dan mengulurkan tangannya untuk mempersilakan Drey.

Aku cuma mengangguk. Dia menyentuh punggungku dengan sopan, menggiringku ke luar ruangan. Mbak Mela cuma melongo. Sabar, Mbak. Aku juga bingung sama orang ini.

"Drey, kamu kenapa?" desisku bingung di luar ruangan. Kutoleh kanan-kiri, koridor sepi. Sekarang jam kuliah. Nggak ada yang melewati lantai dekan.

"Menyelamatkanmu, Cantik," katanya ringan, tetap dengan gaya formal dan suara rendah. "Sekarang, urusanmu selesai, kan? Aku jadi nggak merasa berdosa lagi." Dia menghela napas lega.

Filthy Shade Of Drey (Terbit; Heksamedia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang