Wawancara Perkosaan

162K 13.3K 532
                                    

"Hai!" sapanya pelan sambil masuk ke dalam lift

Pelan-pelan, berharap dia tidak melihat, kupakai lagi stiletto-ku. Saat dia membelakangiku untuk menekan tombol lift, kukancingkan lagi kemejaku. 

Tegakkan punggung, Ana! Cowok suka cewek dengan punggung tegak yang tegas.

Dia berbalik. Dia melihatku, tepat ke mataku!

"Kamu mau ke mana?"

Ke mana saja asal sama kamu aku rela.

"Uhm, ke bawah," kataku dengan suara seperti tikus kejepit. Aku berdeham dan sekali lagi menjawab, "ke bawah."

Bibirnya yang dihiasi brewok itu melengkung ke bawah saat menekan tombol B. Basement? Ngapain aku ke sana? Ah, terserahlah. Nanti aku bisa cari cara untuk ke tujuanku semua. Sepertinya dia juga mau ke situ. Soalnya dia nggak mencet tombol lain lagi.

Dia berdiri di sebelahku. Aroma parfumnya tercium jelas sekali. Aku nggak ngerti parfum, apalagi parfum cowok. yang aku ngerti kalau parfumnya mengingatkanku sama aroma daun dan pohon yang basah gitu. Aromanya menenangkan.

Diam-diam kuberanikan diri untuk menoleh ke dia. Astaga! Dia mandangin aku. Mata cokelatnya itu mandangin aku. Duh, aku meleleh. Aku meleleh banget.

Wajahnya sangat familiar. Suaranya juga terasa akrab sekali. Tuhan, apa dia memang takdirku? Apa kami memang jodoh yang ditakdirkan bertemu kembali dalam lift ini?

"Kamu baru di sini?" Suaranya nggak terdengar seperti cowok dewasa gitu. Suaranya tuh seperti masih muda banget dan ... uhm ... intens. Sepertinya suara itu memang cuma buat aku. Sepertinya kupingku tercipta cuma untuk dengar suaranya.

"Uhm ... Nggak. Gue ... saya nggak kerja di sini."

Dia tersenyum, mungkin baca kegugupanku. Mungkin dia tahu kalau jantungku seperti bola basket yang di-dribble cepat sekarang. Mungkin juga ekspresiku lucu buat dia. Yang jelas senyumnya bukan senyum flirting. Senyumnya terlihat murni karena dia merasa geli atau lucu.

"Santai aja. Kalau kamu nggak kerja di sini kan aku nggak bisa pecat kamu. Jadi, pakai bahasa apa aja nggak masalah."

Pecat? Memangnya dia siapa di sini? Manajer HRD? Sopan nggak sih kalau aku nanya?

"Anu ... Bapak ..."

Dia melambaikan tangan memotong kalimatku. "Jangan panggil 'bapak'. Aku ngerasa tua banget. Drey saja."

WHUATTTZZZ!!!

Dia Drey? Dia Pak Drey-nya Karin? Kok beda dengan di foto? Apa karena brewok tipis sama rambut gondrongnya? Di foto yang Karin kasih rambutnya setengah gundul gitu terus mukanya klimis. Memang beda banget. Jadi dia Drey?

"Krisna Dreyfus?" tanyaku meyakinkan.

Dia tersenyum. "Drey saja."

Ingat kata Karin? Pak Drey itu nggak mau dipanggil pakai nama depannya yang kayak nama bokapnya. Jadi ini memang Drey yang itu. Jadi ini memang Drey yang kucari-cari. Ini Drey yang bakal menyelamatkan duniaku.

"Drey, dengar. Aku ke sini untuk mewawancarai kamu. A-aku ditolak sama sekretarismu yang seperti Kendall Jenner itu. Aku terlambat dari jam yang ada di surat."

Dia mengangkat alis mendengarku ngomong dengan cara yang aneh gitu. 

Tuhan, semoga nggak seaneh yang kupikirkan. 

"Kalau gitu kamu harus bikin janji lagi," katanya dengan senyum miring yang bikin wajahnya jadi terlihat menyebalkan, eh salah, menggemaskan. Sumpah aku gemas sekali. Aku ingin melakukan sesuatu sama wajah itu. 

Filthy Shade Of Drey (Terbit; Heksamedia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang