Tragic Clown

78.7K 6.3K 264
                                    

Karin meremas tanganku. "Yang tadi itu apaan?" desisnya sambil melirik ke arah WC rumah makan yang kami singgahi. Drey ke WC begitu kami masuk ke tempat makan ini. Dia seperti takut Drey bakal muncul tiba-tiba dari pintu WC.

Seharusnya aku tahu ini pasti akan terjadi. Karin minta penjelasan. Tundra juga. Tapi, apa yang bisa kukatakan? Bukankah rahasia Drey adalah rahasiaku juga?

"Cuma cowok yang marah."

Tundra menatapku dengan tatapan yang seperti berkata, 'masa iya?' tapi nggak kupedulikan. Aku tetap akan menjaga semua yang kutahu tentang Drey sampai mati.

"Ana, gue tahu kalau lo pengin lindungi aib Drey. Tapi, jagain lo itu juga tugas kami."

Aku menelan ludah. Karin benar. Aku memang jadi tanggung jawab mereka. Aku harusnya menghargai mereka berdua. 

"Thank's, Kar." Aku menatap Tundra juga. "Thank's Bang. Nggak ada apa-apa, Kok."

"Ana, gue cowok dan gue tahu kalau tadi itu bukan kemarahan biasa."

Aku mengangkat bahu. "Anggap aja selama ini dia menahan kemarahan dan sekarang dia menemukan cara untuk mengeluarkannya." Kutepuk bahu Tundra yang duduk di sebalahku. "Santai ajalah, Abang yang paling ganteng sedunia. Kalau ada apa-apa, gue bakalan bilang sama kalian, kok. Drey itu sejinak kucing."

Karin mengangkat alis. "Jangan sampai lo cuma berpikir sudah menjinakkan dia. Cerberus nggak akan bisa jadi kucing, Ana."

Aku mengerjap. Karin seperti mau bilang sesuatu, tapi nggak jadi. Ibu-ibu pemilik tempat makan mengantarkan pesanan kami. Karin menyesap es jeruknya banyak-banyak. "Gue yang cuma lihat aja panas dingin, bisa-bisanya lo setenang itu."

Tenang? Andai dia tahu kalau di dalam hatiku nggak keruan rasanya. Hanya saja ini jauh lebih baik. Melihat Drey melampiaskan amarah dan emosi pada orang yang tepat itu menurutku normal. Yah, setelah sekian lama dia melampiaskan amarah pada diri sendiri, ini kemajuan, kan?

Mangkok-mangkok rawon panas disajikan pas Drey berjalan keluar dari WC. Dia menenteng jaket dan tersenyum lebar. "Aku lapar banget," katanya riang seolah nggak pernah ada kejadian apa-apa tadi. Aku membantu memegang jaketnya sementara dia mengeringkan tangan. Tanpa ba-bi-bu lagi dia makan dengan lahap di kursi sebelah Karin. 

Karin dan Tundra menontonnya sambil melongo. Aku juga, sih. Kok bisa dia makan tanpa ada pikiran apa-apa? 

"Apa?" Dia mendongak menatap kami. "Kenapa?" dia mengambil beberapa lembar tisu dan mengelap keringat di pelipisnya. Tundra dan Karin berpandangan dan mulai konsentrasi pada mangkoknya sendiri.

"Kenapa, sih?" tanya Drey lagi kepadaku.

"Nggak." Aku tersenyum lebar. "Mereka cuma pikir kamu spesies lain yang makan beling."

Drey tertawa. Dia memegangi hidungnya biar nggak keselek. "Waktu SMP aku sering ke sini. Aku ... sama Bude Tiar sering ke sini."

Karin hampir keselek saking niatnya buat ketawa. "Lo asalnya dari planet mana, sih kok punya Bude segala?"

Drey tetap berusaha menghabiskan isi mangkoknya sambil ngobrol. "Bude Tiar itu yang melihara aku dari kecil."

"'Memelihara?' Semacam kucing gitu, ya?" tanya Karin lagi, masih berusaha mati-matian biar nggak keselek.

Drey mengangkat bahu. "Yah, semacam itu. Orangtuaku cuma bisa melahirkan, terus pergi gitu aja. Yah... seperti kucing." Dia tertawa ringan. "Waktu SMP aku agak ... apa, ya? Aneh. Mungkin karena masuk ke masa remaja. Aku jadi sering bikin masalah. Bude mengajakku ke sini untuk mendinginkan kepala."

"Di mana dia sekarang?" tanyaku hati-hati.

"Meninggal. Gagal ginjal. Pas aku pergi ke Cambridge, dia nggak bilang kalau sakit. Seharusnya kan dia bilang. kalau cuma ginjal, aku kan masih punya dua." Drey lanjut menyendoki makanannya seolah cerita yang dikatakannya tadi itu hanya cerita biasa. Aku yang dengar aja sudah pengin nangis. Dia yang mengalami bisa sesantai itu?

Filthy Shade Of Drey (Terbit; Heksamedia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang