Time Zone

97.2K 6.5K 479
                                    

Hari tanpa Drey sebenarnya nggak buruk-buruk amat. Kemarin kukira bakalan jadi hari-hari membosankan; guling-guling sendiri, nggak tahu harus ngapain karena merindukan dia, dan mungkin aku bakalan senewen marah sana-sini. Begitu kan yang ada di film?

Ternyata semua salah.

Hari Minggu aku sudah dijemput Karin untuk balik ke kos. Pas sampai di kos, ternyata kamarku jadi sarang kejorokan Karin. Jelas aja dia nggak sempat bebersih, sebagian besar waktunya dihabiskan di Simply Breeze. Dua hari aku harus bersihkan kamar sampai jadi ruangan yang layak dihuni manusia, bukan demit kayak Karin yang cuma bsia nonton sambil cerita betapa enaknya kue yang dia makan.

"Lo nggak bakalan nikah sama siapapun kalau kayak gitu, Keset Welkom!" hardikku sambil membanting tumpukan kerdus isi buku pesanan orang. Aku harus mulai packing buku-buku pesanan itu sebelum mulai kuliah lagi.

"Kan gue ntar bakalan hire asisten, Rujak Cingur. Lo kira gue bakalan kayak lo yang ngeden-ngeden bersihin kamar sendiri?" Dia diam sebentar sampai aku harus noleh karena penasaran. "Eh, gue miara lo aja yah di rumah biar bisa beres-beres kalau gue udah jadi istri Tundra nanti?"

Kulempar dia pakai gunting kertas. Sayang, meleset!

"Lo kejem banget sama calon kakak lo," katanya sambil cekikikan.

"Gue nggak sudi lo jadi istri Tundra."

"Kalau Tundra mau sama gue, lo mau bilang apa?"

Aku menghela napas panjang. Ya, memang sih. Kalau tundra mau, aku bisa apa? 

"Lagian lo tuh tampang susah banget, Ana." Karin merayap sampai berbaring di sebelahku dengan sendok plastik cake masih menempel di mulutnya. "Lo bakalan kewong sama Drey, kan? Ngapain lo repot beresin rumah? Lo bisa minta asisten selusin, Ana."

Kawin? Sama Drey? Apa iya?

Aku berbaring di sebelah Karin, tiba-tiba merasa lemas. 

"Gue nggak tahu bakalan bisa berhubungan lebih jauh sama dia atau nggak, Kar."

Karin menatapku, kaget. "Maksud lo? Uhm ... lo nggak suka gitu sama Drey?"

"Gue cinta. Gue sayang. Gue pengin jadian selamanya sama dia." Aku berpaling juga pada Karin. "Gue ... merasa ini kehidupan yang nggak nyata, Kar."

Dia diam, menunggu aku bercerita panjang lebar. 

Kutarik napas panjang sekali sampai dadaku penuh. "Beberapa bulan lalu gue cuma mahasiswa biasa yang pengin lulus sampai lo nyuruh gue ketemu sama Drey. Gue pikir gue bakalan nikah sama cowok yang biasa-biasa aja. Gue punya keluarga yang biasa-biasa aja dan hidup yang biasa-biasa aja. Semua serba biasa dan aman dari masalah besar. Gue nggak tahu kalau hidup gue bakalan seabsurd ini. CEO. Gila, gue nggak pernah ngimpi bisa jadian sama orang segede dia."

"Emang lo yakin anunya gede?"

Aku nggak memedulikan pertanyaan konyolnya. Dia memang biasa gitu kalau liat aku sudah melow gini. 

"Drey itu ... dia benar-benar bukan manusia biasa, Kar. Dia ..."

"Vampir kayak Edward Cullen?"

"Ayah pernah bilang kalau semua yang kita dapatkan di dunia ini ada harganya. Dia juga punya harga yang harus dibayar untuk semua yang dimilikinya sekarang, Kar. Cuman ... kenapa harus gue yang terpilih oleh takdir untuk menemaninya?" Kutarik napas panjang. "Kadang, gue merasa takut sama dia. Di dalam dirinya ada monster yang bisa bangkit kapan aja."

"Semacam Hulk? Lo lagi ngomongin Bruce Banner?"

Aku masih nggak memedulikan omongannya.

"Gue ... gue juga nggak bisa hindari dia, Kar. Gue sayang banget sama dia." Air mataku mulai meleleh. "Dia itu kayak... kayak anak anjing yang kutemukan di pinggir jalan, ditelantarkan orang dan nggak diinginkan siapapun. Dia memohon dan memelas untuk dikasihani, untuk dibolehkan hidup sebentar lagi. Sayang, dia bukan anak anjing sembarangan. Dia cerberus."

Filthy Shade Of Drey (Terbit; Heksamedia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang