When I See Your Eyes

120K 8.3K 578
                                    

"Terus ... SIAPA YANG MASUKIN NOMER DREY KE HP GUE?" 

Tersangkanya malah pasang tampang skeptis, "oh, you're welcome deh. Gue tahu apa yang lo mau, Sister," jawab Karin sambil mengusap pipiku.

Aku pengin nyumpahin Serbet Warteg ini sebenarnya. Tapi, udahlah. Latihan nahan diri. Sebenarnya karin melakukan itu buat bikin aku senang. Dia mikirin aku.

"Kayaknya Drey datang lagi deh ke Simply Breeze," ucap Karin sambil memeriksa isi tasnya. "Sial, gue lupa bawa SIM!"

"Kan gue yang bawa mobil. Kenapa lo yang panik?"

"Berarti ntar malem lo ..."

"Wait, lo bilang tadi Drey bakalan ke kafe?" selaku tanpa peduli sama SIM ketinggalan yang udah jelas cuma setingan itu. Alasannya dia aja tuh biar diantar pulang sama Tundra.

"Ntar malem lo temenin gue balik ke kos, yah?" Karin nggak memedulikanku.

"Woi, gue ngomong sama lo, Tutup Panci."

"Apa sih lo, An? Gue cuma mengira-ngira do ... eh, itu kayak mobil Drey? Itu Drey bukan?" Karin menunjuk bagian samping kafe. Ada ruang kecil yang dibuat khusus perokok. Pemilik kafe nyentrik yang nggak suka rokok, tapi buka kedai kopi ini menyisihkan satu ruang buat perokok. Di situ sosok yang dikira Karin sebagai Drey berdiri. Aku sampai memicingkan mata untuk lihat apa itu Drey atau bukan.

"Kalau itu Drey, gue balik," putusku cepat.

"Lo nggak bisa gitu, Ana." Tundra memarkir mobil dekat dengan sosok terduga Drey itu. "Hadapi dan pertanggungjawabkan apa sudah lo lakuin. Kita nggak dididik untuk jadi pengecut."

Aku manyun. Karin tepuk tangan. Tundra emang disiplin banget urusan kayak gini. Dia mending kena sabet ikat pinggang Ayah daripada lari dari masalah.

"Sori, Bang. Gue nggak bisa. Sudah cukup. Gue nggak mau... bang... lo ngapain?"

"Banyak bacot!" Tundra keluar dari mobil dan membuka pintu belakang, pintu disampingku. Dia menyeretku keluar. Jelas tenagaku nggak ada artinya dibandingkan Tundra. Dia mnggendongku di bahu, membawaku ke dalam simply breeze tanpa peduli aku jerit-jerit.

"Sumpal dulu mulutnya. Gila ni cewek norak amat!" Jerit Karin sambil tertawa.

Sadar kalau kelakuanku emang norak, aku pun menyerah. Sudah dua kali dalam waktu beberapa bulan ini aku digendong begini sama laki-laki. Kayaknya aku emang harus gendutin badan biar nggak ada yang giniin aku lagi.

Tundra nurunkan aku di depan kaca ruang merokok. Setelah mengusap kepalaku beberapa kali, dia meninggalkanku begitu aja. Sementara Drey menatapku tajam. Alisnya berkerut. Wajahnya terlihat serius dan uhm ... apa ya? Nggak suka, mungkin. Sepintas dia terlihat bukan seperti dia.

Aku cuma bisa menelan rasa bersalah yang memenuhi hatiku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku cuma bisa menelan rasa bersalah yang memenuhi hatiku. Tundra benar. Aku harus menyelesaikan ini semua tanpa drama lagi.

Sekalipun ada pintu yang menghubungkan antara bangunan utama kafe dan ruang merokok, aku masuk ke ruang itu lewat pintu terdekat, di sebelah kiri Drey. Di mejanya ada koran dan secangkir kopi yang sudah habis. Nggak ada orang lain selain dia di sini. Dia menatapku tajam setelah aku masuk ke ruangan itu.

Filthy Shade Of Drey (Terbit; Heksamedia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang