Dignity

100K 7.1K 315
                                    

Aku tahu bagaimana orangtuaku. Aku tahu bagaimana Tundra. Mereka bakalan bikin patok besar di depan rumah terus mengikat Drey di situ. Ending-nya, Drey bakal dikuliti hidup-hidup. Mereka juga alasan aku malas pacaran dan konsen sekolah.

Pernah ada teman cowok yang ke rumah pas SMA. Tundra langsung menggonggong sampai tu anak lari terbirit-birit. Menurut mereka, aku harus dijaga sampai menikah, begitu juga dengan Glacie.

Baru ke rumah untuk main aja Tundra sudah segalak itu, apalagi kalau sampai bawa aku ke apartemen sampai sore gini tanpa kabar apapun. Yakin deh mereka bakalan ambil lagi pisau bedah Drey di sampah dan mulai ngeluarin organ dalam Drey pelan-pelan.

Tadi aku sampai ngebentak Drey yang ribut soal aku harus mandi dulu. Drey langsung diam seribu bahasa. Dia nggak bakalan ngerti. Mandi itu nggak penting. Justru kalau nggak buru-buru pulang, aku bakalan dimandikan di keranda.

"Drey, aku turun di sini aja."

"Aku ikut, ya? Aku juga harus ..."

"Drey, percaya deh. Aku tahu gimana mereka. Kalau kamu turun, mereka bakalan lebih liar."

"Justru kalau kamu ..."

"Please ... Aku tahu mereka, Drey. Aku sudah bertahun-tahun hidup sama mereka."

Dia menarik napas dalam-dalam. "Oke. Aku tunggu di sini."

Aku menggeleng cepat sampai leherku sakit. "Kamu pergi saja dari sini, Drey. Buruan sebelum kamu dibakar orang kampung nanti!" Aku juga mengambil napas panjang dan mulai memikirkan alasan untuk menghadapi mereka. "Janji ya kamu bakalan pergi?"

"Ana!" Dia memegang tanganku. "Telepon aku kalau kamu sudah dapat HP-mu lagi, ya?"

Aku mengangguk sebelum keluar dari mobil. Kututup pintu mobil Drey pelan-pelan seperti khawatir Ayah bakal dengar. Drey menurunkan kaca jendela, tapi aku nggak berpaling lagi. Aku sudah fokus sama apa yang mungkin kuhadapi di rumah. Mobil Drey meraung pelan, lalu bergerak. Dia pergi.

Di depan rumah ada beberapa motor termasuk motor Tundra. Siapa aja di dalam? Arya keluar dari pintu depan sambil membawa HP, sepertinya mau menelepon orang. Dia mendelik kaget seperti lihat kuntilanak saat melihatku.

"Apa?" tanyaku mencoba santai.

Arya mematikan HP-nya dan berlari menghampiriku. "Kamu nggak apa-apa? Kamu dari mana aja?"

"Dari rumah teman," jawabku sambil terus berjalan ke rumah.

Karin, Tundra, Ayah, Ibu, dan Glacie duduk di ruang tamu. Ekspresi mereka sama dengan Arya waktu melihatku. Kecuali Ayah. Wajah Ayah seperti mau berubah jadi Hulk.

Aku tersenyum, berusaha untuk bersikap biasa, "A--"

"Ayah nggak mendidik kamu untuk jadi jalang, Ana," ucap Ayah dengan nada yang kejam dan rendah. Wajah ibu terlihat tersinggung Ayah mengucapkan kata itu kepadaku, tapi Tundra menarik ibu. Semua orang masuk ke ruang tengah, termasuk Arya setelah menutup pintu depan.

"DUDUK!" bentak Ayah sambil menunjuk sofa di depannya.

Aku menurut. Aku memang salah.

"Ngapain kamu semalaman sampai sore begini?" Ayah diam sebentar sebelum kembali membentak, "JAWAB!"

Aku menelan ludah, berusaha agar tetap tenang. "Yah, semalam aku jalan sama teman. Terus aku ketiduran di mobilnya. Aku baru bangun siang tadi."

"Kenapa dia nggak antar kamu pulang?"

"Dia nggak tahu rumah ini, Yah. Dia mau antar aku ke kos, tapi Karin nggak ada. Hp Karin nggak bisa dihubungi."

"Kamu mau-maunya keluar sama laki-laki yang nggak dikenal? Kamu diapain sama dia?"

Filthy Shade Of Drey (Terbit; Heksamedia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang