Nggak Beres

125K 9.7K 231
                                    

Pelan-pelan, kutarik tanganku dari genggaan Drey. "Sori, Drey. Aku nggak akan menghalangi pikiranmu untuk suka sama aku atau apa. Itu hakmu. Aku nggak akan bisa ngontrol kamu. Aku juga punya hak yang harus kamu hormati. Tolong jangan asal pegang aku kayak gitu. Aku ... aku nggak suka."

Haruskah kubilang sama dia kalau dia itu kayak punya kekuatan aneh. Setiap sentuhannya bikin kulitku seperti disengat listrik. Yah, listrik kecil, sih. Bukan listrik tegangan tinggi seperti SUTET gitu memang. Tapi kan aneh aja rasanya terkejut-kejut gitu setiap kesentuh. Apa mungkin dokter tadi jahit lukanya pakai vibranium?

"Aku bakalan nunggu, kok."

"Nunggu apa?"

Dia tersenyum lebar. "Nunggu sampai kamu mau menerima aku."

Nah, nggak beres kayaknya otak orang ini. Jangan-jangan tadi dia nelen obat pemicu rabies.

"Terserah kamu, deh," kataku tak acuh. "Jadi, kapan kamu pulang? Aku mau menyelesaikan urusanku dengan kampus. Kalau memang harus keluar, aku mau packing pulang ke rumah, deh."

"Pulang sama aku aja."

"Hah?"

"Kita bisa tinggal di apartemenku. Kamu minta apa aja bakalan kukasih, kok."

Kuhela napas panjang. Memang otak mesumnya harus diberesin, nih. "Drey, Please jangan samakan aku kayak cewek-cewek di pinggir jalan yang cuma kamu kibasin duit receh aja mau ngikut. Aku punya keluarga, Drey. Aku bisa dilibas sampai mampus sama ortuku kalau sampai nggak kuliah terus kumpul kebo sama kamu. Aku memang dididik tanpa uang, Drey. Tapi aku diajari untuk jaga harga diri. Ngerti?"

Alisnya naik, senyumnya miring, ekspresi terkampret yang pernah kulihat. Sabar, Ana. Sabar. Otaknya lagi nggak beres. Mungkin dia masih mabok obat bius. Jangan ngumpat, Ana. Pokoknya jangan ngumpat. Kamu sudah janji. Nanti Tuhan marah.

"Drey, aku nggak tahu ada gunanya nggak aku ngomong gini ke kamu. Tapi, di antara kita memang seharusnya sudah nggak ada apa-apa lagi. Satu-satunya hubungan yang masih tersisa di antara kita adalah kalau kamu nuntut aku dan aku nuntut kamu. Ngerti? Aku minta maaf dan menyesal kamu sudah terluka sampai segitu. Tapi, aku nggak bisa lama-lama di sini. Besok pagi aku sudah harus menghadap dekan dan minta keringanan. Siapa tahu mereka kasihan sama aku."

"Jadi kamu mau pergi?" tanyanya dengan alis mengerut.

"Aku mau pulang."

Dia tersenyum. "Oke. Pulang aja. Sebentar lagi malam."

"Terus, kamu?"

"I'm fine. Aku tinggal telepon orang."

"Tapi kan telepon kamu ada di kosku."

"Kalau gitu aku ke kosmu."

Yaelah, muter lagi deh ceritanya. Gitu aja terus sampai dia berhasil bikin aku bunting terus minggat pura-pura nggak kenal. Ah, makasih, deh.

Tiba-tiba dia tertawa. "Aku cuma bercanda, Ana. Kamu bisa nggak sih rileks sedikit? Kamu tegang banget. Kenapa, sih? Santai. Tarik napas ... Nah, begitu. Aku tahu kamu nggak mau aku ke kosmu atau dekat sama kamu karena kamu takut, kan? Kamu takut suka sama aku. Kamu takut jatuh cinta sama aku terus nantinya kamu sakit hati. Iya, kan?"

Aku cuma melongo. Kok bisa sih dia ngomong begitu? 

Kok bisa dia tahu jalan pikiranku.

"Kamu nggak usah sok tahu, Drey."

"Ana, di dunia ini cuma ada dua jenis cewek; yang terang-terangan mengaku suka sama aku dan yang pura-pura nggak suka karena jaga image seperti kamu." Dia beringsut mendekatiku. Untuk tetap menjaga jarak, aku juga mundur selangkah. "Aku ini orangnya sabar sekali, Ana. Aku akan menunggu dengan sangat sabar."

Filthy Shade Of Drey (Terbit; Heksamedia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang