11. Mencoba Untuk Merelakan

187K 19.9K 1.4K
                                    

Edgar Benar-benar mengantarkan Caca sampai gerbang rumahnya. Tidak mulus, karena Edgar sering kali salah arah. Bagaimana tidak, jelas saja Edgar selalu salah karena dia sama sekali tidak tahu alamat rumah Caca.

Caca yang awalnya minta diturunkan di Halte mendadak merelakan Edgar yang memaksa ingin mengantarnya sampai rumah. Caca pikir Edgar tahu alamat rumahnya, melihat entah berapa kali Edgar membawa mobil ke arah yang salah membuat Caca yakin cowok ini tidak tahu, sampai akhirnya Caca menunjukkan jalan ke arah rumahnya.

Entah apa yang terjadi, Edgar mendadak ingin mengantarkan Caca ke rumahnya dengan alasan sudah hampir malam. Meski begitu, di sepanjang perjalanan tidak ada yang memulai obrolan. Caca diam, begitu juga dengan Edgar. Caca tidak ingin diam, hanya saja dia tidak tahu bagaimana cara memulai obrolan dengan Edgar. Karena Caca takut, apa yang keluar dari mulut Edgar menyakiti hatinya lagi.

"Makasih, mau mampir?" tanya Caca setelah keluar dari mobil Edgar.

Hanya dibatasi jendela mobil yang terbuka, Edgar menggeleng. "Aku buru-buru mau ke Cafe."

Caca mengangguk saja, melambaikan tangan ketika mobil Edgar pergi dengan membunyikan klakson sebagai tanda pamit. Sebelum pergi, Edgar sempat melihat-lihat rumah Caca meski hanya sebentar. Hal itu membuat kening Caca bertautan bingung.

Cewek itu menghela napas, membuka pagar rumah yang tidak terkunci. Ia berjalan gontai melewati halaman.

"Kamu habis dari mana?"

Caca mendongak, dan mendapati Mami sedang duduk di ruang TV dengan masker putih menempel di wajahnya. Caca mendesah, berjalan ke arah Mami dan duduk di samping wanita paruh baya itu.

Caca tidak menjawab pertanyaan Mami, cewek itu justru memberikan pertanyaan yang membuat Mami mengerut kening. "Mami pernah move on nggak?"

Tidak paham, Mami menjawab, "Kamu itu ngomong apa sih nak? Dateng-dateng nanya Mami pernah move on nggak? Sekalipun Mami move on, mau move on dari siapa? Papi kamu?" tanya Mami dengan gerakan terbatas karena masker yang mulai mengering.

Caca mengerang. "Ya kan Mami pasti pernah muda, gak mungkin Mami sama Papi ketemu terus langsung nikah gitu aja."

"Loh? Emang kenapa? Banyak kok yang kayak gitu," balas Mami santai.

Caca memutarkan kedua bola matanya malas. "Masalahnya, tampang Mami gak ada tampang Siti Nurbayanya."

Mami menoleh. "Lah? Emang apa hubungannya?"

Caca mendesah gemas. "Emang Mami sama Papi dulu dijodohin?"

Mami menggeleng. "Gak lah, Mami gak suka main jodoh-jodohan."

Caca gemas, kenapa kalimatnya sulit sekali dimengerti maminya.

"Terus, waktu muda, sebelum Mami ketemu sama Papi, Mami pernah suka sama seseorang nggak? Tapi, cinta Mami gak dibales dan Mami move on, pernah gak?" cecar Caca tanpa jeda.

Mami menatap anaknya heran, lalu memicing curiga. "Oh, jadi kamu kemarin ngurung diri seharian karena patah hati cintanya bertepuk sebelah tangan?"

Bukan mendapatkan jawaban, Mami justru menyindir Caca. Mengungkit kejadian yang membuat hatinya kesal. Caca merengut. "Mami!!!"

Mami terkekeh sembari menahan maskernya, mengelus kepala Caca yang kini mengembungkan pipi dengan melipatkan kedua tangannya di dada.

"Hm, Mami pernah kok ngerasain patah hati."

Caca mendongak spontan. "Mami serius?"

Mami tersenyum, lalu mengangguk. "Hm, Mami pernah ngerasain di posisi kamu. Mencintai orang yang gak mencintai kita. Terlebih, Mami mencintai orang yang juga sahabat Mami sendiri. Kamu tahu gak rasanya jadi Mami? Setiap hari disuguhi kemesraan mereka di depan mata, didengarkan curhatan asmara mereka."

Bukan Stalker [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang