Chapter 22 - Meet Belut listrik

Start from the beginning
                                    

Bukankah hal itu aneh? Mengingat bagaimana gila-nya Amy dalam mencintai Daniel belakangan ini. Respons yang ia tampilkan sungguh berbanding terbalik dari apa yang Daniel bayangan.

"Kau ... Lavender kan?" Margo menunjuk Amy dengan tangannya, membuat seluruh perhatian teralih. "Yang bertemu denganku di super market  tempo hari?"

Daniel menoleh cepat, terkejut dengan pertanyaan Margo.

Tunggu dulu, bagaimana Margo tahu nama depan Amy? Padahal, gadis itu jarang menggunakan nama depannya. Dan hah, super market?  Kapan mereka bertemu?

"Ya ... aku senang kau masih mengingatku." Amy tersenyum manis, membuat Daniel tiba-tiba saja merinding. "Aku harap kita akan berteman dekat nantinya karena Daniel juga ...."

"Daniel apa?" Margo menyahut bingung .

Amy melirik ke arah Daniel sebentar, tatapannya penuh arti dan tak terbaca. Tapi meski hanya sekilas, Daniel mampu menemukan kilatan kemarahan di sana. Jelas sekali, Amy tidak suka dengan hubungannya dengan Margo.

"Daniel juga teman lamaku. Iya kan, Niel?" Amy tersenyum lagi seraya memiringkan kepalanya. Dia berusaha bersikap semanis mungkin, tapi justru hal itu membuat suasana semakin aneh. Mungkin hanya Margo yang tidak menyadari hal itu.

"Apa William tak datang?" Erick berdehem pelan dan berusaha mengalihkan pembicaraan. Suasananya tidak enak, dia tidak suka. "Aku lupa bertanya tadi."

"Ah, dia katanya malas." Darwin menanggapi. "Tadi aku meneleponnya, dan William bilang 'Aku tidak mau'. Sudah, hanya seperti itu, karena setelahnya sambungan terputus."

Deg.

Jantung Margo tiba-tiba saja merasa aneh ketika mendengar nama William, tanpa sadar dia kembali mengingat kejadian seminggu yang lalu di mana William memintanya untuk belajar mencintai laki-laki itu dan melupakan Daniel. Karena shock waktu itu, Margo memblokir nomor William sehingga laki-laki itu tak bisa menghubunginya lagi.

"Bukannya dia selalu seperti itu?" Amy ikut dalam obrolan tersebut. "Dia laki-laki dingin tak berperasaan. Apa yang kalian harapkan darinya? Lagipula aku bingung, kenapa kalian masih mau berteman dengan si aneh itu."

"William tidak aneh." Daniel membantah ucapan Amy tanpa sadar. Dia tidak suka ketika orang yang ia sayang dijelek-jelekkan di depan matanya sendiri. Tidak peduli siapa yang mengejek, Daniel akan membela orang yang ia sayang. "Dia hanya ... pendiam."

"Apa bedanya? Bukankah dia itu seperti orang yang tidak punya hati? Well, kaulihat saja sikapnya pada wanita. Mana ada laki-laki normal yang bersikap sedingin itu," balas Amy tidak mau kalah. Di dalam hatinya, dia kesal karena Daniel lebih membela William dibandingkan menyetujui ucapannya.

"Tidak ... William tidak seperti itu." Margo bergumam tanpa sadar, namun masih mampu terdengar oleh orang lain. Sedaritadi, dia berusaha untuk tidak ikut campur. Tapi mendengar penuturan Lavender yang lama-kelamaan makin kurang ajar, Margo jadi kesal sendiri. Meski baru mengenal William, Margo yakin dia bukan orang yang sama sebagaimana Lavender mendeskripsikannya.

Meski harus dia akui ... William agak aneh. Tapi tipikal aneh yang berbeda, daripada yang Lavender sampaikan.

"Eh? Kau mengenal William?" Erick menaikkan alisnya tertarik. Sedaritadi dia malas ikut berdebat. Amy terlalu keras kepala untuk dibantah, sedangkan dia tidak punya tenaga untuk meladeni wanita itu. "Bagaimana bisa?"

Margo terdiam, tanpa sadar mulutnya berbicara sendiri. Ia tahu, kalau saat ini semua orang tengah memandanginya bingung, terutama Daniel. Laki-laki itu mengernyit, sungguh tak senang dengan pernyataan yang Margo layangkan.

Bukankah waktu itu mereka bertemu sekilas saja?

Well, William hanya mengantar dokumen ke apartment-nya dan tidak berkunjung lagi setelah itu. Jadi tidak mungkin, kalau Margo bisa menyimpulkan William adalah orang baik hanya dengan bertemu sebentar.  Iya, kan?

Ini aneh. Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Dan Daniel yakin dia melewatkan sesuatu.

"Aku ... tahu saja." Margo menjawab agak tergagap, kemudian dia melepaskan jas Daniel dan menyerahkannya kembali pada laki-laki itu. "Ah, aku mau ke toilet sebentar," ucap Margo pada Daniel. Jelas-jelas, wanita itu sedang mengalihkan pembicaraan.

Dengan bingung, Daniel menerima jasnya. Membiarkan Margo berjalan sendirian ke arah toilet agak tergesa-gesa. Ada sesuatu yang aneh di dalam diri Daniel saat tahu Margo dan William saling mengenal, bahkan lebih dari apa yang ia pikirkan.

Di dalam hatinya, ada sebuah perasaan marah, kesal, dan ... kecewa?

Entahlah, Daniel sendiri tak yakin, semuanya tercampur aduk. Kombinasi sempurna untuk membuatnya kesal.

Namun, satu pertanyaan yang menggangu Daniel sejak tadi adalah ....

Sebenarnya, ia mencintai Margo atau tidak?



***

Belut listrik lebih licik daripada rubah, cyn.

[#W2] The Bastard That I Love (COMPLETED)Where stories live. Discover now