Part 30

2.5K 307 51
                                    

23042018

Tak ada yang tahu seperti apa rasanya hampa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Tak ada yang tahu seperti apa rasanya hampa. Kesepian. Kekacauan dalam pikiranku terjadi dalam satu waktu. Aku bahkan benar-benar tak bisa mendeskripsikan seperti apa kekacauan itu.

Aku yang memulai kekacauan itu, dengan menarik satu persatu masalah yang bahkan tak mampu aku prediksi sebelumnya.

Terik mentari siang ini seolah menjadi pengiring bagaimana perasaan serta pikiranku yang hancur itu. Bukan lagi tentang kesakitan. Bukan lagi tentang kekecewaan. Aku hanya tak mampu mengendalikan keadaan.

Begitu turun dari taksi, aku dikejutkan dengan keberadaan mobil Mama. Refleks dahiku berkerut.

Untuk apa Mama datang ke rumah? Apakah dia meninggalkan urusannya di sini?

Kupikir tidak. Entah apa niat Mama datang ke rumah.

Begitu aku menginjak teras, kulihat Mama duduk di sofa ruang tamu sambil menelepon seseorang. Sepertinya dia belum menyadari kedatanganku.

Begitu aku masuk, Mama baru menoleh. Menutup panggilan di ponselnya dan tersenyum padaku.

Aku tak membalas senyum itu, langsung melengos melewatinya dan menuju dapur. Aku butuh air untuk menyegarkan pikiran.

"Ra, sini deh," panggil Mama.

Dengan malas aku menghampirinya. Dia menepuk sofa di sampingnya.

Aku tak menurut. Aku duduk di sofa single.

"Ngapain Mama ke sini? Masih ingat Aira?" tanyaku to the point. Aku malas berbasa-basi dengannya.

Mama tak menyahut. Raut wajahnya berubah datar dan keras.

"Aira pikir, Mama udah nggak pegang kunci rumah. Ternyata—"

"Iya, Mama masih pegang. Ini kan, rumah Mama juga."

"Rumah Papa!" koreksiku. Aku hendak berdiri, namun suara Mama menahanku.

"Mama kangen anak Mama yang paling mandiri."

Aku membuang muka. Sumpah mati aku malas bertatapan dengan Mama.

"Mama kalau mau pulang ke butik, pulang aja. Aira mau tidur. Jangan lupa kunci pintu."

Melangkah ke dalam tanpa memedulikan Mama. Membutakan mataku untuk tak melihat ekspresi Mama yang pasti kesakitan dengan pengusiranku.

"Kamu baru pulang, abis dari mana, Ra?" tanyanya tak menyerah.

Dia sekarang duduk di meja makan.

Aku mengembuskan napas kasar. "Bukan urusan Mama. Apa peduli Mama sampai nanya kayak gitu sama Aira?"

"Aira!" bentaknya. "Nggak pulang beberapa hari, bikin kamu jadi durhaka gini, ya?!"

Aku menulikan pendengaranku, melangkah pelan menuju kamar.

Sehitam Brownies Seputih SusuWhere stories live. Discover now