Chapter 16 - William's wish

Start from the beginning
                                    

"Apa kau mematikan ponselku semalam?" Margo menatap William dengan tatapan tak terbaca. Tapi dari raut wajahnya, William tahu Margo kesal. "Iya kan?"

William menarik napas, "Makan. Bayimu butuh sarapan."

"Jawab aku," ucap Margo yang langsung memotong pembicaraan William. Dia tidak terpengaruh, padahal William telah mengalihkan topik.

William membuang napasnya lagi, berat. "Aku mematikannya," ucapnya mengaku pada Margo.

Margo menatap William dengan tatapan tak percaya, bingung, sekaligus kesal. "Kenapa? Kau tidak punya hak untuk mematikan ponselku bukan?" tanya Margo.

"Aku tidak punya. Tapi, aku tidak mau menggangu tidurmu. Oleh karena itu aku--"

"Tapi Daniel mencariku!" Margo menatap ponselnya, tangannya bergerak lincah, menunjukan layar sentuh itu ke arah William.

Daniel Wallance (53) missed call.

"Dia mencariku dan karenamu ... aku tak tahu." Margo menatap marah pada netra abu itu.

"Tapi kau sedang beristirahat kemarin."

"Bukan berarti kau bisa seenaknya bukan?!" Margo meninggikan nadanya lagi, semakin kesal karena William membalas perkataannya terus-menerus. Wanita berambut hazel itu berdiri dari tempatnya dan menatap William. "Aku mau pulang. Terima kasih karena sudah menemaniku kemarin."

Margo menggamit tasnya yang terletak di meja lalu hendak berjalan keluar. Ya, dia nyaris menyentuh ambang pintu kalau saja ucapan William tidak menghentikan langkahnya.

"Untuk apa, memperjuangkan dia yang bahkan tidak menganggapmu ada?"

Deg.

Langkah kaki Margo terhenti seketika. Dan di dalam dirinya, ada sesuatu yang baru saja terasa perih seolah tercubit.

Dia tersindir karena kata-kata William. Untuk kesekian kalinya, laki-laki itu berhasil membuat Margo speechless.

Jantung Margo berpacu lebih cepat, ketika mendengar suara langkah kaki itu mendekat. Ya, dia tahu orang itu adalah William. Teman Daniel yang karakternya terasa berbeda dengan Daniel sendiri. Margo marah padanya. Tidak. Sebenarnya bukan marah, hanya kesal. Karena sejujurnya Margo sendiri terkejut Daniel mencari kehadirannya.

Seperti yang William katakan tadi, selama ini Margo juga berpikir demikian. Dia merasa kalau ... selama ini Daniel sungguh tak menganggapnya ada. Bukankah nasibnya seperti pajangan? Dia selalu dilewati dan dilihat setiap harinya, tapi sang pemilik bahkan tak sadar kalau ada dia di sana ....

Menyedihkan? Sangat.

"Aku bertanya ... kenapa kau masih bertahan dengan orang yang bahkan tidak pernah menghargai segala perhatianmu?" tanya William, yang lagi-lagi berhasil membuat Margo merasa sesak. Kenapa setiap ucapan laki-laki ini terasa seperti duri yang tertancap pada ulu hatinya? Apa karena William terlalu mengerti dirinya dan setiap hal yang ia katakan adalah ... kebenaran?

"Aku mencintainya." Margo berbalik badan setelah menetralkan ekspresi wajahnya lalu menatap mata William dengan berani. "Itu jawabannya."

"Cinta?" William bergumam, kemudian ikut menatap netra hazel itu sehingga mereka berdua saling beradu pandang. "Jadi maksudmu ... kau rela menderita dan tersakiti terus-menerus, hanya karena cinta?"

"Hanya karena?" protes Margo tak senang. "Cinta lebih dari kata hanya, karena tanpa cinta manusia bukan lagi manusia, bukan?"

William terdiam. Dia butuh waktu agak lama untuk memahami ucapan Margo karena selama ini bisa dibilang dia hidup jauh, dari kata 'cinta'.

Margo menarik napas lega ketika William tidak memberikannya perlawanan lagi. Sesungguhnya, dia sendiri bingung mau menjawab perkataan William.

Apa memang benar, dia pantas merasa sedih terus-menerus hanya karena dia mencintai Daniel?

Apa memang benar, dia harus menanggung semua penderitaan ini, karena rasa cintanya?

Pertanyaan itu membuat Margo tertohok.

Sebenarnya, bukan cinta yang salah, tapi dirinya sendiri. Dia terus bertahan pada orang yang sama, bahkan ketika dia memiliki banyak kesempatan untuk pergi.

Namun satu hal yang mengganjal di batin Margo adalah ... sanggupkah dia pergi, dan meninggalkan laki-laki itu sendirian, di saat Daniel punya seluruh hatinya?

"Aku pergi." Margo melirik jam tangannya lalu memutuskan untuk pulang ke apartment. Baru jam delapan, seharusnya Daniel masih berada di rumah. Dia masih punya kesempatan untuk menjelaskan semuanya, kan?

"Tunggu," ucap William seraya menahan tangan Margo ketika wanita itu hendak keluar.

"Apa lagi?" Margo mengernyit. Benar-benar heran dengan sikap William.

Laki-laki berambut cokelat itu menghela napasnya perlahan, seolah hendak mengucapkan sesuatu. Kemudian dengan rasa kegugupan yang luar biasa, William menatap mata Margo lekat.

"Jika dengan mencintai aku bisa mendapatkan perhatianmu, maka ... bisakah kau melupakan Daniel dan mulai belajar mencintai aku?"

***


Agresif coy! 

Tim William mana nih tim william? wkwkwkkwkwkw


Instagramku : blcklipzz( double Z )

mari berkontakan ria! kalau mau kasih kritik saran DM aja~

[#W2] The Bastard That I Love (COMPLETED)Where stories live. Discover now