Chapter 15 - Sleeping with another man

Start from the beginning
                                    

"Bagus." William menarik napas lega karena dia pikir, Albert menceritakan masa lalunya kepada Margo.

"Lantas, kenapa dia masih di sini?" tanya William agak bingung. Ya, tadi William pikir Margo kasihan dengan cerita yang Albert beritahu kepadanya hingga memutuskan untuk menemani William sampai sadar. Tapi, jika Albert tidak bercerita, lantas apa alasan Margo tetap tinggal di sisinya hingga tidak pulang ke rumah?

"Tidak tahu." Albert menjawab ragu. "Sejak tadi, dia tidak bergerak dari tempatnya. Karena itu tadi aku mengantarkannya makanan. Dia setia menemani, bahkan sampai tertidur di sisimu."

Tiba-tiba ada sebuah perasaan asing yang menyeludup masuk ke dalam diri William, membuat hatinya terasa hangat.

Perasaan bahagia yang bahkan tak bisa ia deskripsikan dengan kata-kata.

Terasa aneh, tapi juga menyenangkan. Hingga tanpa sadar, seulas lengkung tipis menghiasi bibirnya.

"Oke. Terima kasih sudah menjaga rahasiaku." William tersenyum meski tak terlihat.

Albert mengangguk, kemudian menunduk sebagai bentuk kesopanan kepada William sebelum dia menutup pintunya kembali dan mematikan lampu.

Laki-laki berambut cokelat itu naik kembali ke lantai dua, membuka pintu kamarnya dan hendak naik ke atas ranjang sampai dia mendapati sesuatu bergetar di meja samping tempat tidurnya.

Itu ponsel Margo. William mengambil benda pipih itu dengan hati-hati, berusaha semaksimal mungkin itu tidak menimbulkan suara. Ekpsresi wajahnya langsung berubah ketika mendapati siapa yang menelepon Margo.

Daniel is calling ....

William mengernyit. Selama berteman dengan Daniel, rasanya dia belum pernah melihat Daniel menelepon Margo. Ah, apa itu hanya perasaannya saja?

Laki-laki bermata abu itu menarik napas pelan, lalu melirik ke arah Margo yang masih tertidur dengan pulas. Rasanya dia tak rela, jika wanita seperti Margo jatuh ke tangan bajingan tak berperasaan seperti Daniel.

Margo pantas mendapat yang lebih baik. Dan jika wanita itu mau mencari, maka William akan berdiri di barisan paling depan. Menawarkan diri sebagai pasangan si wanita bermata hazel.

Ponsel itu masih terus bergetar, seolah enggan untuk menyerah. Kemudian dengan gerakan lambat, William menyentuh tombol merah dan menggesernya ke samping. Ya, dia baru saja mematikan telepon dari Daniel.

Setelah itu, William mematikan handphone Margo. Tidur di dekat ponsel tidak bagus karena radiasinya tinggi, belum lagi dia tidak mau Margo terganggu karena Daniel yang terus menerus menelepon.

William kembali naik ke ranjang setelah mematikan ponsel Margo. Dia menyingkirkan anak rambut Margo yang menghalangi wajahnya. Kemudian, netra abu itu tidak bisa berpaling. Dia terus memandangi wajah yang saat ini tengah tertidur lelap, seolah begitu tenang dan tak ada masalah.

William mendekat ke arah telinga Margo dan berbisik lembut, "Selamat tidur, Margo."

***

Daniel menatap ponselnya frustrasi sembari menghela napas berat. Dia menekan benda pipih itu dengan marah, berusaha menghubungi wanita yang ia cari sejak tadi.

Margo tidak ada di mana-mana. Wanita itu tak pulang, tak memberi kabar, dan tak bisa dihubungi. Ia sukses membuat Daniel merasa khawatir setengah mati ... bahkan ketika Daniel berusaha untuk bersikap tak peduli.

Dia pulang nyaris tengah malam. Semua bodyguard dan pelayannya sudah tidur, dan Daniel tidak berniat mengganggu mereka hanya untuk menanyakan Margo.

Demi Tuhan, dia tidak ingin khawatir! Tapi kenapa? Kenapa dia tidak bisa bersikap biasa saja? Kenapa dia sangat lebay, padahal biasanya dia yang tidak pulang ke rumah?

"William!" Daniel menjentikkan jarinya, baru mengingat kalau William tadi sempat menghubunginya karena kemari. Dia pasti bertemu dengan Margo, bukan?

Dengan gerakan cepat, Daniel menekan nomor William. Dia tahu, biasanya William belum tidur jam segini. Dan ya, hari ini dia tidak ikut BeruangSquad minum-minum di club. Dia lelah.

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif. Silakan coba beberapa saat lagi."

Daniel melempar ponselnya marah ketika suara operator malah terdengar. Ia tidak mengerti kenapa dia sangat kesal, karena sejujurnya baru pertama kali Daniel merasa seperti ini karena Margo.

Biasanya, wanita itu selalu berada di rumah dan menungguinya. Sejujurnya baru kali ini, Margo pergi tanpa sepengetahuan Daniel. Lebih parahnya, dia tidak izin sama sekali.

Menyebalkan bukan?

Daniel menghela napas lelah. Dia mencoba membaringkan tubuh dan menatap bagian yang kosong di sebelah sana. Aneh. Dia benar-benar merasa ada sesuatu yang mengganjal saat Margo tak ada di sini.

Tapi kenapa? Kenapa dia bersikap seperti ini? Bukankah ... dia tidak mencintai Margo?

Trtt .... Trtt ....

Ponsel Daniel bergetar, membuat laki-laki bermata biru itu refleks berdiri dan mengambil benda yang ia lempar ke lantai tadi. Seketika, jantungnya terasa berdebar-debar. Dan sejujurnya, dia berharap yang meneleponnya sekarang adalah Margo.

Sayang, harapan Daniel tak terwujud. Karena nyatanya, yang meneleponnya adalah salah satu orang kepercayaannya, oleh karena itu dia menelepon ponsel pribadi Daniel, bukan ponsel khusus untuk klient.

"Kenapa? To the point saja." Daniel menjawab setelah menekan tombol hijau, tanda bahwa sambungannya telah terhubung.

"Maaf, Tuan. Saya tidak berhasil mendapatkan kontrak itu. Perusahaan YG Group menganggap Anda tidak sopan karena meminta saya yang hadir padahal ini adalah rapat penting. Jadi ... mereka memutuskan untuk tidak bekerjasama dengan Wallance."

"Shit!" Daniel berteriak kesal seraya membanting ponselnya, lagi. Tidak peduli kalau benda itu bisa rusak ataupun retak nantinya. Laki-laki bermata biru itu mengusap wajahnya kasar, menghela napas dalam-dalam dan berjalan ke kamar mandi.

Dia mencuci mukanya beberapa kali, lalu mendapati wajah tampan itu tetap terlihat kusut.

"Kenapa ... semuanya tidak berjalan lancar hari ini?" Daniel bergumam pada dirinya sendiri di depan kaca. Dirinya benar-benar frustrasi.

Well, saking frustrasinya ia, dia sampai lupa kalau ... harusnya hari ini dia bahagia setengah mati karena bertemu dengan Amy lagi. Bukannya bertingkah seperti orang gelisah seperti ini.

Margo perlahan-lahan telah menjadi bagian hidup Daniel. Tak peduli seberapa kuat pun Daniel menyangkal dan mengalihkan perhatiannya, wanita itu sudah memiliki tempat di dalam hatinya. Sebuah posisi kecil, yang bahkan tak terlihat oleh Daniel.

***

up!

Terima kasih dah join soal julukan Amy.

aku paling suka dengan sebutan "belut listrik", saran dari
MartaLengsih4

Thanks, bakal kugunakan nanti.

.
.
.

pertanyaan lain, kalau julukan yang pantas untuk Daniel apa? Ada saran yang menarik?

Jawab yaa, ty!

***

instagramku : blcklipzz (double z)

[#W2] The Bastard That I Love (COMPLETED)Where stories live. Discover now