Indraka

227 29 6
                                    

Buat yang kemarin minta lanjut, ini aku lanjut mumpung lagi mood, hehehe...

@azbyee selamat membaca ya. Eh...buat yang lain juga dong, hehehe


Aku telan senyumku melihat keterkejutannya. Sebenarnya, melihat wajah paniknya adalah hiburan tersendiri buatku. Rasanya, aku sudah berhasil membuat dia butuh perlindungan. Sayangnya dia tidak mau aku lindungi. Jadi, sebagai cowok aku harus berstrategi. Termasuk memaksanya belajar padaku. Entahlah ini strategi licik atau strategi baik. Tapi yang jelas, untuk berstrategi ini, dia telah membuatku fokus belajar, fokus memperbaiki diri.

Pulang sekolah ini, dia berjalan disampingku. Dia tidak melebihi dan menguragi ukuran langkahnya. Tapi seperti biasa, jalannya menunduk. Diam tanpa kata.

"Biasanya kamu ketemu dia dimana?" tanyaku memecah kesunyian.

"Di parkiran mobil, sama Dianti."

Aku mengangguk mengerti.

"Sering pulang bareng mereka?"

Dia mengangguk.

"Karena naik mobil?" tanyaku lagi.

Berhasil, wajahnya diangkat melihatku.

"Bukan begitu, Dra. Aku..."

"Udah, ga pa-pa. Aku ngerti kok. Ga usah panik begitu. Aku tahu kamu milih teman bukan karena mobilnya," ucapku.

Dia langsung terdiam. Kembali berjalan, menunduk.

"Itu mereka," kataku.

Farhana kembali mengangkat wajahnya, berjalan lebih cepat menuju Dianti dan Gilang. Bahkan dia sudah disana ketika aku masih tertinggal 5 meter dibelakangnya. Aku melihat Gilang berbicara duluan padanya. Dia terlihat menjawab sambil menunduk. Kemudian Dianti dan Gilang masuk mobil, meninggalkannya.

"Loh? Kok mereka sudah pergi, Na?" tanyaku di belakangnya.

"Dianti sudah bilang ke Kak Gilang. Dia tadi cuma memastikan. Aku minta maaf, ga enak."

Bisa aku rasakan rasa tidak enaknya. Aku juga tidak tahu kenapa aku juga merasa bersalah. Gilang menerimanya tanpa perlawanan. Aku merasa menang tanpa bertarung. Hampa rasanya. Kenapa ya? Apa aku menyukai Nana karena dia susah didapatkan? Kalo rintangan sudah tidak ada, aku akan mendepaknya? Duh...aku kenapa ya?

"Pulang naik apa?" tanyaku. Mengalihkan kecamuk di dadaku.

"Naik motor."

"Tumben?"

"Iya. Abi ada lokakarya di Surabaya 3 hari. Jadi motornya bisa aku pake. Sekalian nganter Hasby sekolah kalo pagi," jawabnya.

Penjelasannya menbuat aku mengerti, betapa sederhananya kehidupan gadis di depanku ini. Aku jadi mengerti kenapa dia tidak pernah neko-neko. Hidupnya lurus dan tidak pernah dia bandingkan dengan teman-temannya. Dia sudah membuat definisi untuk dirinya sendiri. Kagumku padanya timbuk kembali.

"Ya udah, aku pulang dulu ya, Dra," katanya berbalik.

"Na...," aku memanggilnya ragu. Ternyata dia berhenti, berbalik lagi menolehku.

"Apa?" tanyanya.

"Mau nemeni aku makan?"

Alisnya langsung bertaut.

"Aku tahu ini sudah sore. Jam 3 belum terlalu telat buat makan siang kan?"

Dia diam.

"Hari ini ulang tahunku. Ga ada yang ingat. Di rumah juga tidak ada orang. Aku merayakan dalam kesepian..."

Entah kenapa mataku seakan berkaca-kaca. Aku memang sedih. Aku merasa bego sendiri mengajak Farhana. Dia pasti menolak. Ulang tahunku selalu sepi.

"Bentar ya, Dra," katanya sambil mengeluarkan hp nya. Dia menjauh dan menghubungi seseorang. Aku sudah akan berjalan menuju motorku ketika aku dengar percakapannya.

"Nana ada kelompokan mendadak, mak. Pulangnya agak sore. Tapi sebelum maghrib sudah pulang kok." klik. Selesai.

"Dra, kita makan dimana?" tanyanya.

Kamu tahu Na, meledak rasanya dada ini. Kalo ga ingat ini kamu, sudah aku peluk erat kamu. Tapi yang bisa aku lakukan hanya mengusap air mata.

Indraka dan FarhanaWhere stories live. Discover now