Bab 10: Sidang

26.5K 1.7K 322
                                    

Di kantor Diploma Tiga FTUP, Gua, Adit, Doni, dan Sherly duduk di sofa panjang berwarna hitam yang tampak masih baru. Kami berada di ruangan kecil yang di dalamnya di isi oleh fasilitas lengkap. Di depan kami sudah ada pak Rizal yang memasang wajah masam dengan kumis lebatnya yang tertekuk ke atas. Beliau adalah Kaprodi. Kepanjangannya ketua prodi, jadi dia ini adalah walikotanya jurusan D-3. Ngurusnya juga cuma program studi (jurusan) aja. Biasanya kaprodi juga bisa dari dosen. Anggap aja beliau ini adalah seperti wali kelas. Memang sehabis kelas selesai, kami berempat langsung di giring oleh beliau ke ruangan ini.

       "Kalian berempat betul-betul keterlaluan. Saya sudah lima belas tahun bekerja di sini, tapi tidak pernah mengalami kasus kekerasan yang sadis seperti ini!" Bentaknya dengan mata yang menyalah-nyalah.

       Kami berempat hanya terdiam.

       "Padahal kalian kan mahasiswa, tapi berani melakukan perbuatan tindak mengerikan seperti itu!"

       Mata pak Rizal menyapu wajah kami yang memucat. Lalu pandangannya berhenti ke Sherly. Agak di kerutkan dahi pak Rizal kala melihat Sherly.

       "Kamu kan perempuan, malah ikut-ikut pengeroyokan itu! Apa kamu tidak malu dengan teman-teman seangkatanmu! Seharusnya kamu malah menghalangi perbuatan mereka. Bukannya malah ikut serta!"

       Wajah Sherly terlihat dongkol. "Maaf pak! Memang saya ada di lokasi kejadian, tapi saya tidak ikut dalam pengeroyokan itu.."

       Braaakk

       "Diam!"

       Mulut Sherly langsung tertutup rapat.

       "Saya tidak minta kamu untuk berbicara!"

       Sherly terdiam, namun tidak dapat menyembunyikan wajahnya yang semakin dongkol.

       "Kalian tahu, mahasiswa bernama Bayu harus mendapat dua belas jahitan di kepala belakang. Sedangkan Indra yang paling parah kondisinya. Bibirnya robek dan gigi depannya patah! Beberapa jahitan juga harus di lakukan kepada anak itu! Kalau sampai terjadi apa-apa siapa yang mau tanggung jawab?! Keduanya kini masih harus menjalani perawatan di rumah sakit!"

       Kami masih terdiam.

       "Kelakuan kalian bisa di pidanakan! Mau kalian masuk penjara??" Tanya Pak Rizal marah betul.

       "Tidak pak.." Adit yang menjawab.

       Pak Rizal lalu duduk sambil menggelengkan kepala. Wajahnya tampak merah karena marah. Sikapnya pun gelisah. "Saya baru dapat telefon dari keluarga Indra tiga puluh menit yang lalu, beliau menjelaskan kalau tidak terima atas penganiayaan kepada anaknya. Orang tuanya Indra ingin bertemu dengan kalian berempat. Mungkin sebentar lagi beliau akan sampai kesini,"

       "Untuk apa pak?" Tanya gua datar seolah itu bukan suatu masalah yang besar.

       "Tentu beliau ingin mendengar permintaan maaf kalian secara langsung. Kalau tidak beliau akan meneruskan permasalahan ini ke polisi!" Kata Pak Rizal dengan nada yang mulai meninggi. "Kalian memohonlah padanya agar tidak melaporkan masalah ini ke polisi. Jika tidak nama baik kampus kita akan rusak oleh ulah premanisme kalian!"

       Untuk sesaat keadaan hening.

       Terlihat wajah anak-anak yang mulai cemas dan takut. Bukan kali ini gua berurusan dengan polisi, ketika STM dulu gua sering bolak-balik ke kantor polisi. Jadi gua santai aja menyikapi masalah ini. Tapi buat mereka bertiga mungkin menjadi pengalaman yang baru.

KOST SEGREKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang