Omake

2.7K 191 27
                                    


Pagi itu langit cerah tanpa ada setitik awan sedikitpun. Seakan langit tak ingin membuat hari indah seseorang menjadi berantakan. Di sebuah rumah tradisional, dengan halaman yang cukup besar dan nuansa kuno yang melekat erat. Terlihat beberapa mobil hitam berkumpul dan berbaris rapi di parkiran mobil.

Seorang laki-laki paruh baya keluar dari salah satu mobil itu. Yukata berwarna abu-abu dengan sabuk obi hitam, membuatnya terlihat berwibawa. Mata lavendernya yang mengabu karena termakan usia, tetap menunjukkan kehangatan.

Lelaki itu memasuki rumah besar dan menuju ke bagian dalam rumah. Ia disambut oleh seorang wanita paruh baya dengan rambut abu-abu serta mata perak. Wanita itu membungkuk hormat sebelum menyambutnya.

"Selamat datang di keluarga Otsutsuki, Hyuuga Hizashi-sama."

Hizashi membalas sambutan wanita itu dengan senyum tipis, "Terima kasih telah mau menerimaku di rumah ini, Kaguya-san."

"Tidak masalah, justru seharusnya kami yang mengucapkan terima kasih. Karena anda mau menggelar rapat tentang ahli waris di kediaman kami, setelah apa yang telah dilakukan putra kami." Mata perak Kaguya berubah sayu, dengan rasa bersalah yang terpancar jelas di matanya.

Hizashi menepuk pundak wanita itu dan tersenyum ramah, "Yang telah berlalu, biarlah berlalu. Karena itu juga yang diinginkan Hinata."

Kaguya menurunkan wajahnya, setetes air mata jatuh di pipinya. "Meski begitu, kami harus tetap menghukumnya. Karena bukan hanya dia telah menodai tangannya, ia juga bahkan membuat kontrak dengan Iblis. Hal yang tabu bagi Onmyouji."

"Lalu, sekarang Toneri berada di mana?"

Mata perak itu memandang taman bunga yang terletak di samping kanannya. Mata peraknya menerawang jauh, mengingat kembali di mana Putra semata wayangnya berada.

"Dia berada di tempat hukuman..."

Tempat itu berada di bawah tanah, dengan cahaya matahari yang nampak dari sela-sela fentilasi udara. Ruangan yang tidak terlalu besar itu membentuk sebuah ruangan dengan jeruji kayu yang di beberapa tempat ditempeli kertas mantra.

Di salah satu jeruji kayu itu, duduk seorang pemuda dengan rambut abu-abu kusam. Ia memakai baju dan celana putih. Kelopak matanya tertutup rapat sebelum terbuka saat telinganya menangkap sebuah suara.

Suara itu pelan dan ringan. Suara yang berasal dari langkah seorang anak kecil. Mata perak itu memerhatikan saat sosok anak kecil berdiri di tempat gelap. Membuat wajah anak itu tidak kelihatan jelas.

"... kau tidak seharusnya berada di sini, bocah." Laki-laki itu berujar pelan.

"Kenapa?"

"Karena di sini, tempat untuk mereka yang telah melakukan kesalahan."

Anak laki-laki itu terdiam, namun tak lama ia kembali bertanya. "Jadi, kau bersalah?"

Laki-laki itu tertawa pelan, "Bukan hanya itu, karena aku berdosa dan ternoda." Mata peraknya menatap langit-langit yang terbuat dari bebatuan. "Seharusnya mereka membunuhku saja waktu itu. Bukannya malah menyelamatkanku."

"Kau tidak senang telah diselamatkan?"

"Aku lebih senang, bila aku mati dan bertemu lagi dengan Tuanku di dunia sana."

Keheningan menyelimuti mereka berdua, saat keduanya sama-sama tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Sampai suara helaan nafas terdengar di susul suara tawa kecil.

"Begitu. Jadi kau sama sekali tidak berubah, Momoshiki-kun."

Mata perak itu melebar saat nama itu terucap. Nama yang sudah ia pendam begitu lama dan tidak seharusnya seorang anak kecil mengetahuinya. Ia menatap tajam sosok itu, "Siapa kau?"

The Red FoxWhere stories live. Discover now