Episode 17: Dream and Reality.

1.1K 135 9
                                    

Suara tetesan air yang berulang kali terdengar, menggema dalam gelapnya malam. Dingin dan hampa. Saat kelopak mata itu terbuka, dua pasang rembulan bersinar indah. Hinata menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak mengerti bagaimana bisa ia sampai di tempat ini. Sebuah ruangan berdinding bebatuan tanpa adanya lampu penerang, namun ia masih bisa melihat sekitarnya.

Hinata melangkah dengan hati-hati, membiarkan langkah kecilnya membawanya menuju suatu tempat. Hingga langkahnya benar-benar berhenti di tengah ruangan dengan atap langitnya menjulang tinggi. Gadis dengan rambut biru gelap itu mengerjap pelan.

"Ini... di mana?"

Merasakan kehadiran seseorang, Hinata berbalik dan mendapati sosok seorang laki-laki yang seumuran dengannya. Laki-laki berambut hitam panjang dengan sepasang manik lavender. Garis wajahnya tegas, namun senyum tipisnya membuat Hinata merasa tenang. Hinata menunduk pelan, menyapa sebelum melangkah mendekat.

Laki-laki itu hanya membalas dengan senyum, lalu ia menoleh menatap jendela besar tanpa kaca dengan bulan bersinar indah. Dan entah sejak kapan, mereka mulai menghabiskan waktu dengan menatap sinar rembulan dengan pasir bintang di langit malam. Terus begitu sampai laki-laki misterius itu hendak melangkah pergi.

"Kau mau pergi?" Hinata berujar, mencoba menahan langkah pemuda itu. "Tidak bisakah kau menunggu? Minggu depan aku pasti akan mengantarmu, jadi...!" Hinata sama sekali tidak mengerti, kenapa ia berkata seperti itu.

Namun tatapan sayu dengan senyum getir yang pemuda itu berikan. Berhasil membuat dada Hinata seakan diremas, nyeri dan sesak. Remaja itu menggeleng lemah sebelum tersenyum pahit dan melepaskan cekalan Hinata di lengannya.

"Dia sudah memanggilku..."

Kata-kata itu terngiang begitu saja. Membekas dan tidak menghilang, justru semakin menggema dalam benak Hinata. Dia... siapa yang pemuda itu maksud. Hinata tidak perduli, yang ia tahu, gadis itu tidak rela jika pemuda itu pergi.

"Jangan pergi! aku mohon... jangan pergi!"

"To—!"

.

.

"Hinata!"

Seruan serta guncangan dibahunya seketika menyadarkan Hinata dari tidurnya. Gadis manis itu mengerjap, masih merasa pusing dan belum tersadar sepenuhnya. Setelah pandangannya fokus, raut cemas Naruto lah, hal pertama yang ia lihat.

"Kau baik-baik saja?"

"Uh, ya. Aku baik-baik saja Naruto-kun."

Pemuda pirang itu duduk di depan Hinata dengan meja lebar sebagai pembatas. Di atas meja, ada beberapa tas belanjaan yang tadi dibawa Naruto. Hinata mengusap wajahnya dan sedikit terkejut saat mendapati telapak tangannya basah oleh air matanya.

Sepertinya saat dia tanpa sengaja tertidur ketika menunggu teman-temannya selesai belanja. Hinata bermimpi sesuatu. Ya, dia yakin memimpikan seseorang. Seorang laki-laki yang tidak ia kenali, namun mampu membuatnya tidak rela saat laki-laki itu pergi.

"Hinata, kau benar baik-baik saja?" suara Naruto menarik lamunan Hinata.

Gadis itu tersentak dan mengangguk cepat sambil tersenyum tipis, "A-aku baik Naruto-kun, hanya sedikit lelah."

"Hee~ Kau pasti lelah sekali, sampai menangis dalam tidurmu."

Perkataan Naruto berhasil membuat Hinata mengerang pelan. Jelas sekali bahwa pemuda itu bersikap sarkastik terhadapnya. Tidak salah sih, karena memang Hinata berbohong pada siluman rubah di depannya ini. Namun jangan salahkan dia juga, karena bagaimanapun Hinata harus menjaga jarak terhadap siluman satu ini. Ah! salah, semua siluman memang harus dijauhi. Walau mungkin dalam kasus Naruto, Hinata sedikit menurunkan kewaspadaannya.

The Red FoxWhere stories live. Discover now