Episode 15: Awal dari Takdir, Bagian akhir.

1K 129 7
                                    


Manik coklat yang terkena bias kilau cahaya mentari senja. Menatap lurus padang bunga lavender dengan tatapan menerawang. Ingatan kilas balik, memutar di benaknya tanpa ia pinta.

Malam itu, ia terbangun saat mendengar suara benda jatuh. Pemilik rambut serupa langit senja itu semula mengacuhkannya sebelum sebuah suara asing menarik perhatiannya.

"Maaf Hinata... aku tidak akan lagi... bertindak sebodoh ini."

Yahiko membuka sebelah matanya, melirik sekilas sebelum kedua matanya terbuka lebar. Dapat ia rasakan hatinya memanas melihat Sang Istri berada dalam pelukan laki-laki lain. Mereka terlihat saling mencintai satu sama lain.

Hinata tidak pernah melihatnya, itu adalah kenyataan yang sudah Yahiko ketahui semenjak kedatangan Hinata dan Hikari ke Istana. Senyum yang Hinata ulas saat mengatakan dia bersedia menjadi Istrinya, adalah senyum palsu dan sangat dipaksakan. Senyum yang membuat Yahiko bersumpah akan membuat gadis itu tersenyum tulus dan tidak akan merasa menyesal karena telah memilihnya.

Namun kini, melihat pemandangan di depannya membuat hati Yahiko remuk. Perlahan, ia berbalik, memunggungi kedua insan yang masih hanyut dalam dunia mereka. Yahiko memejamkan matanya, berusaha mengenyahkan rasa perih dalam hatinya. Dan berharap dia bisa cepat terlelap dan bangun seakan semua ini tidak pernah terjadi.

"Yahiko-sama..." suara lembut yang selalu menenangkan hatinya.

Lelaki itu memutar kepalanya, menatap sosok anggun yang datang menghampirinya. Hinata tersenyum tipis, dia membawakan secangkir teh yang ia buat sendiri. Yahiko mengucapkan terima kasih sebelum menyesap teh dengan harus melati itu.

"Yahiko-sama... apa anda baik-baik saja? Akhir-akhir ini anda terlihat lesu dan sering melamun."

Dari ekor matanya, Yahiko tahu bahwa Hinata benar-benar mencemaskannya. Wanita itu terlalu baik, dia lebih mementingkan orang lain dari pada dirinya sendiri. Dan mengingat hal itu semakin membuat Yahiko terpuruk.

Diletakannya cangkir teh sebelum menarik pinggang Hinata pelan. Ia bersandar pada perut besar Hinata, di mana calon anaknya berada. Dentuman lembut dan samar-samar itu seakan menjadi obat paling ampuh untuk menghilangkan kegelisahannya saat ini.

"Hinata..."

"Ya, Yahiko-sama?"

"kau tahu..." jeda sejenak sebelum Yahiko menggeleng lemah. Ia melepaskan pelukannya dan menatap Hinata lembut. "Tidak apa-apa, kehadiranmu dan si kecil cukup membuatku merasa lebih baik."

Senyum yang sedikit dipaksakan, Hinata dapat melihatnya jelas, sejelas jendela yang terbuka. Namun hal yang berkabut adalah apa yang tengah dirisaukan Yahiko. Kerisauan yang entah kenapa Hinata rasakan, ada sangkut pautnya dengan dirinya.

...

"Yahiko-sama..."

Suara Momoshiki terdengar sayup namun cukup untuk menarik perhatian Yahiko. Laki-laki itu menutup buku kecil yang tengah ia baca, lalu mengalihkan netranya. Momoshiki berdiri di ambang pintu, membungkuk hormat sebelum berjalan menghampiri Yahiko yang tengah berada di ruang kerjanya.

"Anda dipanggil Yang Mulia Raja di ruang kerjanya."

"Benarkah? Ada apa jam segini ayah memanggilku?" Yahiko segera beranjak dari duduknya dan berjalan keluar ruangan bersama Momoshiki. "Terima kasih Momoshiki, ah! tolong lihat keadaan Hinata, minggu-minggu ini adalah masa rentan baginya. Jangan lupa kabari aku kalau terjadi sesuatu!"

"Saya mengerti, Yahiko-sama. Anda tidak perlu cemas, karena tabib nenek Chiyo selalu berada di samping Hinata-sama."

"Haa... baguslah kalau begitu." Yahiko mulai melangkah pergi, namun baru beberapa langkah dia kembali menoleh menatap Momoshiki. "Astaga! Aku tidak bisa berhenti cemas belakangan ini! Chiyo-baa-san tidak pernah meleset sebelumnya dalam memperhitungkan kelahiran, benar bukan?"

The Red FoxWhere stories live. Discover now