Episode 22: Kamu tidak sendiri.

982 121 6
                                    

Neji menatap lekat-lekat pintu kamar Hinata. Adik sepupunya masih tidak mau keluar dan mengurung diri di kamar. Ia menghela nafas berat, rasa cemas sama sekali tidak membantunya. Untuk yang kesekian kalinya, Neji mengetuk pintu kamar Hinata.

"Hinata-sama keluarlah, dan mari kita makan bersama."

Hening kembali menyambutnya, membuatnya kembali putus-asa. Namun suara pintu yang dibuka membuat senyum Neji merekah. Dari balik pintu, Hinata menatapnya dengan tatapan sayu.

Hati Neji seraca mencelos melihatnya, tidak tega mendapati adiknya seperti itu. Ia mencoba memaksakan senyum lebar sambil meraih tangan Hinata. Menggenggamnya dan menepuk pelan punggung tangan Hinata.

"Semua menunggumu, Hinata-sama."

Hinata tak menyahut, namun ia melangkah keluar kamar dengan wajah tertunduk. Mereka berdua berjalan beriringan menuju ruang makan. Di sana Hanabi dan Hizashi menyambut Hinata dengan hangat. Anak bungsu Hyuuga tersenyum cerah dan mengajak Hinata untuk duduk di sampingnya.

"Nee-sama, hari ini aku membuat masakan kesukaanmu." Hanabi dengan telaten menyiapkan piring untuk Hinata.

Ia senang karena akhirnya kakak perempuannya mau keluar dari kamar dan makan bersama. Rasanya sudah begitu lama ia tidak melihat Hinata, meski saat ini wajah gadis itu sangat pucat. Hizashi tersenyum ia menaruh teh hijau hangat di depan Hinata.

Manik lavender itu terangkat, menatap sosok saudara kembar ayahnya.

"Paman... kau datang," Suara Hinata terdengar serak dan pelan.

Hizashi mengangguk, wajahnya terlihat lelah namun masih menarik senyum untuk keponakannya. "Ya, sekarang mari kita makan Hinata."

Hinata mengangguk, perlahan ia mengambil sumpit dan mulai menikmati makan paginya bersama keluarga Hyuuga. Manik lavender itu kembali melirik Hizashi, sebelum ia kembali fokus pada makanannya.

Setelah selesai makan, Hinata menghampiri Hizashi yang tengah memandangi kolam ikan. Gadis manis itu duduk di samping Hizashi dan ikut memandangi kolam.

"Paman senang, kau sudah mau keluar kamar." Hizashi membuka suara tanpa memandang Hinata. "Kemarin, teman-temanmu datang untuk menjenguk. Mereka semua mencemaskanmu," Hizashi kembali berujar dan kali ini ia menatap ke arah Hinata.

"Kau tidak sendirian Hinata, kau punya teman-teman yang baik dan kami ada di sini bersamamu."

Hinata menoleh, membalas tatapan Hizashi sebelum tersenyum tipis. "Aku tahu, paman."

...

"Kamu yakin mau berangkat sekolah?"

Untuk kesekian kalinya, Hizashi bertanya dengan raut cemas. Di depan pintu gerbang, Hinata tersenyum lembut. Ia sudah berpakaian rapi dengan seragam sekolahnya, tidak lupa ia mengenakan jaket kesayangannya.

Hinata mengangguk dengan senyum kecil, "Aku tidak bisa terlalu lama absen, dan ada banyak hal yang harus aku kerjakan." Manik lavendernya bergetar pelan, "Terlebih aku harus bersiap untuk acara penting. Aku tidak bisa bersantai di kamar terus."

Hizashi menatap gadis itu sedih, rasa bersalah terlihat jelas dari pancaran matanya. Hinata menggeleng pelan, ia tersenyum lebar."Jangan merasa bersalah, paman. Ini memang sudah tugasku."

"Tapi, tetap saja... paman merasa kamu terlalu cepat untuk menjadi kepala keluarga."

"Aku sudah dilatih sejak kecil oleh ayah untuk menjadi kepala keluarga. Jadi bagiku tidak ada kata terlalu cepat." Hinata kembali tersenyum lembut untuk meyakinkan Hizashi.

Pria paruh baya itu menghela nafas pendek, ia mengalah dan mencoba menerima keputusan Hinata. "Baiklah, paman mengerti."

"Terima kasih, paman." Senyum Hinata merekah dan ia berbalik untuk membuka pintu setelah pamit.

The Red FoxDonde viven las historias. Descúbrelo ahora