Episode 13: Awal dari Takdir, Bagian 3.

959 125 5
                                    

'Itu benar, aku akan sangat bahagia jika kau mau menerimaku sebagai calon suami-mu, Hinata-san.'

Kalimat itu, berputar berulang kali dalam benaknya. Seakan sebuah delusi indah, jika yang mengatakannya adalah pemuda pirang dengan mata biru. Pemuda yang sudah ia kenal sejak ia kecil, remaja pirang yang telah memenuhi hatinya.

"Bagaimana ini? aku masih merasa bahwa semua ini hanyalah mimpi."

Manik lavender itu sontak menatap wanita paruh baya yang sejak tadi tidak berhenti mondar-mandir. Hinata menghela nafas pelan, melihat tingkah Sang Ibu yang masih seperti itu semenjak mereka pulang dari Istana Pain.

"Kaa-san," panggilnya.

"Ah! Hinata, bagaimana bisa kamu menarik perhatian Putra Mahkota?" Hikari segera menghampiri putrinya, dengan senyum yang belum juga luntur semenjak tadi. "Tapi, apa tidak masalah jika kita berbesan dengan keluarga kerajaan? Kita ini hanya rakyat biasa."

"Kaa-san." Sekali lagi Hinata memanggilnya, berusaha mendapatkan perhatian dari Hikari.

"Raja memberikan waktu seminggu untuk kita memikirkan lamaran itu. Tapi, jika melihat cara Putra Mahkota menatapmu, Ibu rasa dia serius."

Hinata kembali menghela nafas pelan, melihat Ibunya masih asyik sendiri. "Aku tidak bisa menerimanya kaa-san!" Sentakan kecil dari Hinata, cukup untuk membuat wanita paruh baya itu terdiam. Manik lavender putrinya sedikit menyayu dengan raut memelas sebelum berujar pelan. "Aku mencintai orang lain."

"O-oh..." Hikari mengerjapkan matanya, butuh beberapa saat baginya untuk tersadar. "Benarkah? Seperti apa orangnya?"

Hinata mengangkat wajahnya saat mendapati suara lembut dari Sang Ibu. Senyum hangat penuh pengertian Hinata dapatkan dari wajah Hikari. Wanita paruh baya itu menghampiri Hinata dan mengajak putrinya untuk duduk di depannya.

"Kenapa kamu tidak pernah cerita?" ujar Hikari lembut sembari mengelus rambut panjang putrinya.

Selama ini Hinata selalu bekerja keras untuk membantunya. Dia jarang sekali melihat putrinya itu bermain dengan para gadis di sekitar desa mereka. Namun Hinata selalu menceritakan kedua temannya yang belum pernah Hikari temui. Meski begitu, dari raut wajah Hinata yang terlihat bahagia dan ceria, sudah cukup untuk membuatnya tahu, kalau mereka adalah teman yang baik untuk putrinya.

"Apa dia... salah satu dari temanmu?"

"Eh?" Hinata menatap Ibunya dengan manik sedikit melebar. Agak terkejut mendengar pertanyaan Ibunya, dan maniknya semakin melebar saat Hikari dengan tepatnya mengatakan nama laki-laki yang memang sudah memenuhi hatinya.

"Apa dia Naruto-kun?"

"Ba-ba-bagaimana... kaa-san tahu?!"

Hikari tertawa geli melihat reaksi putrinya. Wajah Hinata yang memerah serta pundaknya yang sedikit tegang membuatnya terlihat sekali, bahwa dia gugup setengah mati.

"Wajahmu selalu berseri setiap kali menceritakan dirinya, dan matamu... mirip dengan mata ayahmu ketika berbicara dengan kaa-san." Hikari tersenyum samar, betapa ia merindukan sosok suaminya. Melihat tatapan Hinata saat dia tengah bercerita tentang Naruto, tatapan itu selalu mengingatkan Hikari pada mendiang suaminya. "Tatapan kalian berdua sama... karena itulah Kaa-san tahu."

Hinata merasa darahnya mendidih dan wajahnya terasa panas. Namun ada rasa kesal yang mengganjal hatinya. "Kalau kaa-san sudah tahu, kenapa masih meributkan masalah lamaran Yahiko-sama?" bibir gadis lavender itu mengerucut lucu.

"Karena kaa-san tidak tahu perkembangan hubungan kalian berdua." Hinata mengalihkan tatapannya dengan wajah yang semakin memerah. "Kaa-san tidak tahu, apa kalian benar-benar serius atau tidak. Itu karena kamu tidak pernah mengajak Naruto-kun kemari," terang Hikari lalu menyentil kening putrinya.

The Red FoxWhere stories live. Discover now