Episode 14: Awal dari Takdir, Bagian 4.

897 124 3
                                    

Suara genderang, serta alunan musik menyatu dengan keramaian para warga Kota Sawah. Hari ini adalah hari bahagia, tidak hanya bagi keluarga kerajaan, tetapi juga bagi para rakyat. Hari ini adalah hari pernikahan Sang Pangeran. Kerajaan mengadakan pesta tiga hari tiga malam yang disambut gembira rakyatnya. Kedua mempelai itu dibawa berkeliling kota untuk melakukan pawai dan menyambut antusiasme rakyat Kota Sawah.

Di atas tandu berwarna merah keemasan, Hinata dengan Kimono serba putih, duduk di samping Yahiko dengan senyum tipis. Manik rembulannya memperhatikan orang-orang yang menyambut mereka dengan senyum hangat dan ceria. Mereka terlihat bahagia atas pernikahannya dengan Pangeran Yahiko. Hinata memejamkan matanya, mencoba menepis rasa sakit yang datang tanpa diminta.

"Hinata."

Panggilan lembut itu, datang bukan dari laki-laki pirang yang ia kenal. Panggilan serta genggaman lembut yang ia terima, berasal dari laki-laki yang kini berstatus 'suami' sejak dua jam yang lalu. Hinata memalingkan wajahnya, menatap lurus sepasang mata coklat yang menatapnya lembut. Gadis itu tahu, mata laki-laki itu tidak berbohong. Seakan ada bisikan suara yang terus menggema dalam kepalanya, mengatakan kata-kata cinta penuh kasih.

Yahiko meraih tangan putih yang begitu mungil dalam genggamannya. Membawanya untuk ia cium jemari lentik yang kini tersemat cincin putih dengan bandul ungu pucat. Yahiko bahagia. Dia merasa dia adalah laki-laki paling beruntung di muka bumi ini. Gadis yang telah menyelamatkannya dari kesendirian dan kegelapan, gadis yang begitu indah dan memukaunya, kini adalah istrinya. Yahiko tidak mampu menahan senyum bahagianya.

"Terima kasih, karena mau menjadi istri-ku Hinata."

Gadis lavender itu tersenyum tipis, ia menggeleng pelan sebelum menatap suaminya. "Tidak, Yahiko-sama. Saya yang seharusnya berterima kasih, karena telah menjadikan saya yang seorang rakyat biasanya, menjadi pendamping Tuan."

Senyum Yahiko kian mengembang, dan dapat Hinata lihat semburat merah di kedua pipi suaminya. laki-laki itu terlihat begitu bahagia, pemandangan yang semakin membuat ulu hatinya semakin nyeri. Hinata mengalihkan netranya, menatap lurus, kosong pada hamparan lalu lalang dengan kerumunan warga kota. Pikirannya mulai melayang, membayangkan sosok pemuda dengan tiga garis halus di kedua pipinya.

...

Gaara menghela nafas untuk yang kesekian kalinya, manik hijau pudarnya menatap pintu di depannya. Memberikan tatapan datar dan tajam, seakan dengan begitu, pintu itu akan terbuka dan memunculkan sosok rubah yang sudah hampir seminggu ini bersembunyi di dalam sana. Pemuda merah itu kembali menghela nafas sebelum membuka pintu geser dan masuk ke dalam. Di dekat jendela besar, sosok Naruto yang tengah tiduran memunggunginya terlihat.

"Mau sampai kapan kau hibernasi, Naruto?"

"Aku rubah, bukan beruang."

"Baiklah, aku ganti pertanyaannya." Gaara melangkah mendekat dan duduk di depan Naruto yang masih memunggunginya. "Mau sampai kapan kamu seperti ini?"

"...Seperti apa maksudmu?"

Gaara menatap punggung Naruto agak lama, sebelum ia menarik pundak pemuda itu. Memaksa Naruto untuk menatapnya, manik biru itu bertemu dengan manik hijau pudar.

"Seperti ini maksudku," usai berkata seperti itu Gaara memukul kepala Naruto.

Pemuda itu segera beranjak duduk sembari mengaduh dan memegangi kepalanya. "Apa yang kau lakukan bocah rakun?!"

"Membangunkan mu, apa lagi?"

"Hah?!"

"Pergilah ketempat Hinata-san." Seketika Naruto mematung dan memalingkan wajahnya. Enggan menatap mata Gaara dan enggan untuk membicarakan perihal tentang Hinata. "Mau sampai kapan kamu bersembunyi di sini? kau mencintai Hinata, lalu kenapa tidak mengejarnya dan langsung menyerah saat dia bilang akan menikah dengan laki-laki lain?"

The Red FoxWhere stories live. Discover now