Malapetaka

17 5 0
                                    

"Haaah...." aku membaringkan kepalaku di atas meja kantin.

Bagaimana pun, akhirnya aku berhasil melewati kelas memanggang sampai saat ini.

"Tapi.." aku memicingkan mataku.

Rain itu,

Aku tidak menyangka ia bisa jadi menyeramkan. Sangat-sangat menyeramkan.

Aaaa.....

Sepertinya aku selalu membuatnya marah

Aku tahu aku salah..

"Tapi aku tidak terima!" aku mengangkat wajahku.

"Hm?" Luna yang ternyata sudah duduk di depanku tersenyum dengan mata yang membulat.

"Ada apa? Apa terjadi sesuatu?" tanya Luna.

"Luna, bukankah seharusnya yang mengajar itu tidak memarahi muridnya yang belum tahu apa-apa?" tanyaku dengan pipi menggembung.

"Yah.." Luna tersenyum.

"Kupikir itu tergantung sifatnya. Bukan begitu Rei?"

"Apa?" Rei yang baru datang kebingungan.

"Oh ya, bagaimana dengan kelas memanggang roti? Kau menyukainya?" Rei menoleh padaku.

"Ung... yah, aku paling suka saat bagian mencicipi hasilnya sih" ujarku.

"Kalau begitu, bawa hasil buatanmu dong. Biar kami mencicipinya!" Rei tersenyum memperlihatkan giginya.

"Aa.. kalau itu, nanti pasti akan kubawakan untuk kalian" aku tersenyum dengan terpaksa.

Aku tidak ingin membuat Rei dan Luna merasakan roti gagalku.

Kalau diingat-ingat, selama di kelas tambahan aku sering diceramahi Rain.

Sudah terlalu sering bahkan aku rasa aku mulai terbiasa dengan itu.

Aku tidak pernah percaya diri dengan roti buatanku sendiri.

Andai saja ceramahannya bisa membuat skillku meningkat pesat.

***

Selama berada di kelas tambahan, roti hasil buatanku memang selalu tidak sesuai harapan.

Tapi bukan berarti aku akan menyerah!

Kali ini aku akan membuat bread loaf yang sempurna!

"Ok..!"

Aku menggulung lengan baju dan mulai mencampur adonan sesuai instruksi Rain.

Pertama, campurkan semua bahan dan aduk menggunakan sendok kayu atau spatula.

Lalu mulai gunakan tangan untuk mencampur rata semua bahan dengan cara meremasnya.

Tidak lebih dari lima menit, kumpulkan adonan menjadi gumpalan dan biarkan rehat untuk lima menit selanjutnya.

"Pokoknya kau harus berhasil ya!" aku memberi semangat (dan sedikit paksaan)  pada adonan bread loafku.

Selanjutnya, aku mulai melakukan folding, lalu membiarkan ragi melakukan pekerjaannya.

"Woohoo, rotiku bertambah besar" aku terkesima melihat pertumbuhan adonanku akibat ragi yang menghasilkan gas.

"Hi hi, raginya bekerja dengan baik" aku menyentuh gelembung udara yang timbul di permukaan adonan.

Akhirnya waktunya memanggang!

Aku positif adonan ini akan berhasil menjadi bread loaf yang sempurna!

.

.

.

Atau mungkin tidak

"U-uwa..."

Saat pintu oven dibuka, yang kutemui adalah..

Malapetaka

Saking terkejutnya, aku tidak dapat berkata-kata.

Bagaimana bisa roti meledak seperti ini?!

Bread loafku benar-benar tidak berbentuk sekarang.

Apa.. Apa aku memasukkan bom ke dalamnya?

"Ah.. memalukan.." aku menutup wajahku.

Aku lalu menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan bahwa orang-orang tidak melihat.

"Tidak boleh ada yang tahu!"batinku.

Aku segera mengambil plastik untuk mengantungi bread loafku yang meledak.

"Prust"

"Hii!" belum sempat mengantungi, dengan refleks tubuhku kembali tegak.

Langkah kakinya makin terdengar jelas. Rain berjalan menghampiriku.

"Ah.. mati aku" ucapku lirih dengan raga bagai  tak bernyawa.

Rain berhenti tepat di sampingku.

Ia menatapku, menatap ke dalam oven, lalu menatapku kembali.

"Hah......" terdengar helaan nafas yang panjang.

Aku memejamkan erat kedua mataku.

Apapun yang akan ia katakan, setidaknya aku sudah mempersiapkan hatiku.

Tep

Diluar dugaan, tangannya mendarat ringan di atas kepalaku.

Dia.. tidak mendaratkan jitakannya?

Ah, syukurlah

"..Aku mengerti kau frustasi karena selalu gagal membuat roti, tapi tolong jangan menghamburkan bahan seperti ini"

...

Entah kenapa kata-katanya tidak membuatku senang

Rain memegang kedua pundakku dan membalikkan tubuhku menghadap ke arahnya.

"Prust, lihat aku"

Dengan ragu-ragu, aku mendongakkan kepala.

"Ungh..."




Pletak!

"Aa!" kali ini jitakan Rain mendarat di kepalaku.

Aku mengusap kepalaku, kesal.

Ishhh, padahal dulu ia begitu baik hingga menyempatkan diri memberiku salep. Sekarang ia bahkan tidak menahan dirinya untuk menjitak kepalaku!

"Lalu? Akan kau apakan rotimu yang meledak ini? Roti ini tidak mendekati kata layak sedikit pun" ujar Rain seraya berkacak pinggang.

Laki-laki ini.. kata-katanya terlalu jujur.

"Ro..roti ini akan kumakan sendiri! Tentu saja akan kubayar!" teriakku.

Rain yang sedang bertumpu lutut menarik roti buatanku keluar oven, berhenti.

"Ah.. aku rasa lebih baik tidak" ia bangkit dan membawa pergi rotiku.

"H-hei, mau kau bawa kemana rotiku??"

"..Akan kubuang" jawabnya datar.

G R O C E R I E S Where stories live. Discover now