"Mrs. Devran, kita bukan di mobil. Kamu aman sekarang, dan bisa berjalan-jalan di atas sini" katanya dan menunjuk Omar yang berjalan ke arah kokpit pesawat, juga Lidya yang berjalan menuju ke sebuah pintu yang kecil. Alghaz sepertinya menangkap kebingunganku, "Lidya perlu ke kamar kecil...sepertinya" sahutnya dan aku mengangguk.

"Berapa lama ke Amsterdam itu, Al?"

Alghaz malah tersenyum aneh sambil terus melihatku, "Aku senang mendengarmu memanggilku dengan nama itu. Al...rasanya begitu berbeda kalau kamu yang menyebutnya..."

Aku berdecak sambil memalingkan wajahku yang merona malu. Tapi tangan Alghaz menahannya, wajahku dihadapkan lagi padanya, "Jangan pernah berpaling seperti itu dariku, nona manis" lanjutnya. Pipiku makin panas, entah kenapa. "Perjalanan kita cukup panjang, kurang lebih 14 jam. Karena itu tidak mungkin kamu hanya duduk saja seharian kan?"

Mataku melebar mendengar penuturannya mengenai waktu terbang kami. "14 jam?? Tanpa berhenti?"

Alghaz menggeleng, "Yap, tanpa berhenti" katanya sambil menggelengkan kepalanya, "tapi kamu tenang saja, kamu bisa tiduran di kamar kita..." ujarnya seraya meraih tanganku dan berdiri.

Ekspresi bingung dan takutku pasti membuatnya menjawab, "Aku mau memperlihatkan sesuatu padamu, tidak apa-apa...ayo berdiri" katanya dan aku memberanikan diri untuk berdiri di atas kakiku. Tidak terasa apapun memang, tapi pegangan tanganku pada Alghaz makin kencang.

"Pengantin baru mau ke kamar, tolong kalau ada yang perlu apapun pada Mr. Devran sekaranglah waktunya..." ujar Omar sambil lagi-lagi tersenyum jahil, diikuti yang lain ikut tersenyum dan menggeleng. "Baiklah sepertinya tidak ada yang mendesak saat ini Mr. Devran, silahkan Anda gunakan waktu Anda bersama istri Anda" selorohnya membuat Alghaz tersenyum geram.

"Tutup mulutmu, Omar!" cetus Alghaz dan menutup pintu kamarnya.

Aku tidak percaya kalau pesawat ini benar-benar memiliki kamar tidur seperti ini. Tempat tidur berukuran queen di satu sisinya dan lemari di sisi lainnya, kemudian ada pintu kecil yang aku yakini itu adalah kamar mandinya. Dinding putih yang membalut interior pesawat senada dengan tempat tidurnya dan karpetnya yang berwarna krem danputih. Tapi aku merasa tidak enak dengan yang lainnya karena mengunci diri berduaan dengan Alghaz di dalam kamar seperti ini.

"Al, saya merasa tidak enak dengan yang lain---"

Alghaz menghampiriku dan memeluk pinggangku, "Mereka maklum kalau kita itu pengantin baru" ujarnya seraya meraih daguku dan membiarkanku menatapnya lama, "lagi pula, kalau di dalam sini, kamu bisa membuka jilbabmu---atau bajumu sekalian" ujarnya dengan suara pelan dan tatapan yang menggelap.

Aku menelan ludah dan mengerjap bingung, apa maksud Alghaz? Apa maksudnya ia sedang meminta haknya sebagai suami? Sekarang? Di kamar ini dan banyak orang di luar sana? Ya Allah, apa ini pikiranku saja? Kenapa aku jadi liar begini? Tapi tangan Alghaz meraih ujung jilbabku dan mengangkatnya ke atas melewati kepalaku. Kemudian ia menarik pengikat rambutku dan membiarkan rambutku tergerai di atas bahu dan punggungku. Tangannya meraih beberapa helai rambutku ke hidungnya, "Harum...aku suka wangi rambutmu" katanya.

Aku menatapnya malu-malu dan mundur selangkah ketika Alghaz bergerak makin dekat padaku. Dia tersenyum, "Istriku sangat pemalu, ternyata. Tapi aku akan bersabar" ujarnya dan menuju tempat tidur, merebahkan dirinya di sana. Dengan dagunya ia memintaku untuk ikut berbaring di sebelahnya. Aku menghampirinya dan ikut berbaring di samping Alghaz.

Alghaz memiringkan tubuhnya, memandangku. Menyentuh hidungku, jarinya menyusuri lekukan hidung, mata dan tulang pipiku. Aku memberanikan diri mengikuti gerakannya, menyentuhkan jariku di hidungnya, menyusurinya, mata, tulang pipi dan lesungnya, juga rahangnya. Alghaz memejamkan matanya seolah menikmati sentuhan kecilku itu. Kemudian jarinya menyentuh bibirku, jariku ragu-ragu untuk ikut menyentuh bibirnya. Mata Alghaz terbuka, tatapannya hangat dan menyejukkan sekaligus. Aku suka warna mata Alghaz yang coklat gelap, bronze, indah seperti perhiasan. Bibirnya hangat, lembut dan halus di jariku.

"Apa kamu suka rasa bibirku di jari kamu, Dis?" tanyanya membuatku kaget, tapi aku mengangguk pelan, "kamu akan lebih menyukainya kalau bibir kamu yang menyentuhnya" ujarnya dan membuatku spontan melepaskan sentuhanku. Alghaz malah terkekeh.

Aku menggeser diriku menjauh darinya, tepatnya makin ke pinggir tempat tidur.

"Kau akan jatuh kalau terus menggeser dirimu ke pinggir, Dis" seru Alghaz.

"Mendekat ke sini lagi" perintahnya.

"Alghaz...sa---"

"Kesini! Atau aku yang ke sana!"

Aku bergerak perlahan mendekat lagi padanya, jantungku berdebar panas mengingat kata-kata Alghaz tadi.

"Kurang dekat" katanya dan Alghaz mendekat lagi sehingga tidak ada jarak lagi di antara kami berdua. Alghaz sangat dekat, sangat-sangat dekat.

"Pipimu memerah, cantik sekali..." ujar Alghaz makin membuatku malu. "Balik badan..." perintahnya, dan aku seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, menurut saja, walau bingung kenapa ia memintaku membelakanginya. Kemudian tanganya menarikku lebih dekat lagi padanya. Aliran listrik mengalir ke tubuhku seiring dengan bersentuhannya sebagian besar tubuhku dengan tubuhnya. Alghaz memelukku dan aku merasa nyaman berada dalam pelukannya. Pipiku memanas, untunglah Alghaz tidak bisa melihatnya.

"Kamu menyukainya ya?"

"Ha??"

"Kamu suka aku peluk seperti ini kan?" ulangnya.

Aku tidak berani menjawabnya, diam saja.

"Diam berarti iya" katanya sambil menarik tubuhku lebih erat, "kau tinggal bilang apa yang kamu mau dariku, Dis. Aku suamimu sekarang, ingat itu. Apapun!"

Aku hanya mengangguk pelan, dan terasa Alghaz menyurukkan kepalanya di antara rambutku. Aku merasa geli dan menyukai sikap manjanya ini.

Lama kelamaan rasa kantuk menghampiriku dan aku tidak kuat lagi melawannya, mataku berat dan panas. Mungkin karena lengan dan pelukan Alghaz terlalu nyaman untukku, sehingga aku menjadi ngantuk seperti ini. Aku bermimpi Alghaz menatapku dan mencium bibirku dengan lembut.

.

.

.

Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di luar negeri. Alghaz terus menggenggam tanganku ketika menunggu Omar dan staf lainnya mengatur bagasinya ke mobil yang menjemput kami di bandara. Mataku sempat membesar ketika aku melihat ada seseorang yang mirip dengan Max tadi. Tapi pasti itu hanya perasaanku saja, tidak mungkin Max sampai ke Belanda juga, kan?

Alghaz memperbaiki syal yang melilit leherku ketika kami turun dari mobil dan berjalan masuk ke dalam hotel. Kemudian tangannya kembali menggenggam tanganku yang bersarung tangan. Ini memang bukan musim dingin, melainkan masih musim gugur di Belanda, tapi Alghaz memberiku sarung tangan dan aku memakainya, itu saja. Kami memang tidak bersentuhan langsung, tapi aku tetap merasakan hangatnya tangan Alghaz di tanganku.

*****


Duuuhhh😂

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Duuuhhh😂

Masih selow readers nya..tapi aku tetep update ajah...selow selow lama lama jadi banyak juga...ye kan ye kan...😄😄

Makasih buat yang setia mengikuti cerita ini...




LEAD TO YOU (Sudah Terbit-Repost-Completed)😍Where stories live. Discover now