• Artha #51 •

Start from the beginning
                                    

Agatha terdiam. Pantas saja, Pak Supri kan, sangat doyan makan.

"Lain kali, sisain dua buat saya dong, Pak. Saya kan, pengin juga. Bilang aja sama satpam SMA buat nyari aku, Agatha." Penjual es krim itu tertawa, lalu mengacungkan jempolnya. "Siap, Dek."

Agatha mengangguk, menguatkan ikatan rambutnya sejenak. "Aku beli dua lagi ya, Pak. Satu buat aku, satu lagi buat pacarku yang galaknya ampun-ampunan."

"Kalo galak, kok Adek mau pacaran sama dia?" Agatha tersenyum malu-malu. "Kalo dasarnya cinta emang udah susah, Pak. Hehe. Dia juga cantik banget, miss universe aja kalah."

Setelah membayar lagi, Agatha berbalik, hendak kembali ke rumah Arkan. Tetapi, seseorang tiba-tiba menariknya, Agatha tentu protes dan berseru tidak terima. Apalagi, orang yang menariknya sekarang adalah Tio, ayahnya. "Ayo pulang, kamu pikir Papa nggak khawatir?"

Agatha menepis tangan Tio, mendengus sebal dan menatap balik ayahnya itu dengan mata menyipit. "Khawatir? Nggak salah? Oh iya, bukan khawatir soal aku, tapi soal Sherin dan donor darah. Ampun, deh. Bisa nggak biarin aku pergi dari rumah? Beban biaya kalian nanti juga berkurang, kan?"

"Papa jujur soal khawatir sama kamu, Agatha. Kamu nggak ada kabar sama sekali. Ditelepon, nggak aktif. Papa cari ke sekolah nggak ketemu."

"Duh. Aku sangat baik-baik aja tanpa kalian bertiga. Mending urusin Sherin aja sana, nggak usah sok peduli sama aku. Aku nggak butuh perhatian fake dari kalian, jujur aja kalian pasti nyari aku buat donor darah lagi, kan? Please, jarak dari donor darah terakhir bahkan nggak nyampe satu bulan. Kalo aku kenapa-kenapa, gimana?"

Sejurus kemudian, Agatha malah tertawa, merasa lucu dengan ucapannya sendiri. "Oh iya lupa. Emangnya Papa peduli sama aku?"

Agatha mengibaskan tangan, memilih melangkah ke gerbang kompleks. Namun, Tio menahan tangannya dan menarik Agatha menjauhi tujuannya semula, entah ke mana. Agatha meronta, melayangkan protes cukup keras hingga membuat perhatian beberapa orang tertuju padanya. Tetapi, seperti yang bisa diduga, orang-orang itu hanya menonton tanpa memberikan reaksi lebih.

Hanya dalam hitungan detik, Agatha sudah didorong masuk ke dalam sebuah mobil. Di sana, sudah ada Angel yang langsung memberikan pelototan gratis kepadanya. Tanpa membuang-buang waktu Tio segera mengitari mobil dan masuk ke dalam, mengunci pintu secara otomatis sehingga Agatha tidak akan bisa keluar.

"Buka, nggak?!" Angel mencengkeram tangan Agatha begitu keras, hingga membuatnya meringis. "Diam! Sekarang kamu ikut aja, jangan banyak protes. Lagipula, rumah kamu bukan di sini. Pulang!"

"Rumah? Rumah itu yang bikin penghuninya nyaman!"

"Diam!" Agatha tersentak kala Tio membentaknya. Napas Agatha semakin berat, bersamaan dengan sesak yang memenuhi dadanya. "Makasih loh, Pa, udah khawatir. Khawatir sama Sherin, ya?" sindir Agatha pedas.

"Mungkin ini waktu yang tepat, Agatha. Papa memang lebih sayang Sherin daripada kamu, karena kondisi dia lebih pantas untuk diperhatikan." Agatha mendenguskan tawa. "Terus, itu alasan aku jadi bank darah buat dia?"

Jawaban yang terdengar kemudian sukses membuat Agatha menelan salivanya kasar. Tanpa harus ditanya lagi, setiap bagian dalam tubunya menjerit soal hal yang sama. Kecewa.

"Ya."

***

Lalisa dapat melihat kegelisahan yang mendominasi di wajah anaknya, Arkan. Alhasil, dia mendekati Arkan yang tengah memandang ke arah gerbang rumah. "Arkan, ada apa?"

Arkan menoleh, kemudian menggeleng perlahan. "Nggak ada apa-apa." Lalisa justru menyunggingkan senyum tipis.
"Kamu khawatir soal Agatha, ya? Dia lagi jalan-jalan katanya, mau liat-liat daerah sini."

"Liat-liat sampe empat puluh tiga menit." Ucapan Arkan sebenarnya terdengar ketus, tetapi itu justru mengundang gelak tawa Lalisa. "Sampe diitung gitu, ya. Samperin gih, daripada penasaran."

Arkan akhirnya melakukan apa yang disarankan Lalisa, ia berjalan di sepanjang trotoar sambil terus mengirimkan pesan kepada Agatha. Sayangnya, Agatha tidak kunjung membalasnya. "Ini cewek ngilang ke mana, sih."

"Oy, Arkan!" Arkan menoleh saat mendengar seseorang meneriakkan namanya, ia melihat sekumpulan anak kompleks yang kompak menoleh ke arahnya. "Lo nyari cewek lo, ya?" lanjut cowok yang mengenakan kaus hitam.

"Lo liat gak?" tanya Arkan balik. Cowok berkaus hitam itu menunjuk ke arah gerbang kompleks. Arkan mengacungkan jempolnya sebagai ucapan terima kasih.

Agatha tidak terlihat di sana, padahal Arkan yakin cewek itu tidak mungkin pergi jauh-jauh. Ini sudah sore, dan Agatha bukan tipe seseorang yang mau berjalan jauh. Arkan berdecak kesal, perasaannya kini tidak enak.

Saat Arkan mengedarkan pandangan, matanya tertuju pada pedagang jajanan es krim yang tampak kebingungan. Ia mendekati, hendak bertanya siapa tahu bapak itu melihat Agatha. "Sore, Pak. Bapak liat tadi cewek yang rambutnya diiket nggak? Dia pake hoodie warna abu-abu."

Si penjual mengerutkan dahi. "Namanya Agatha?"

Kini, giliran Arkan yang bingung. "Iya, namanya Agatha. Kok bapak tau namanya?"

"Tadi dia beli es krim Bapak, terus, tiba-tiba dia ditarik sama orang buat naik ke mobil. Bapak nggak tau Adek tadi dibawa ke mana, tapi kelihatannya dia nggak mau."

Rahang Arkan mengeras. Ini pasti ulah Tio, ayah Agatha.
"Ya sudah, Pak, makasih infonya."

Sungguh, kali ini Arkan bertekad untuk tidak membiarkan perbuatan mereka yang bertindak seperti ini kepada Agatha. Meski mereka adalah keluarga Agatha sekalipun.

***

Greget nggak?
/Nggak

Btw, maaf ya telat update. Wattpad lagi error:((

Tapi kalo respon dari kalian bagus, diusahain update cepet kok MUEHEHEHE

Update-nya malem Senin, itung-itung pereda stres besok mau berjuang kembali di jalan sang pencipta.
*Eak.

So, next atau nggak nih?

Ok, see you:)

Artha (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now