• Artha #35 •

227K 24.8K 2.2K
                                    

Kadang, orang yang terlihat kuat itu justru yang paling rapuh perasaannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kadang, orang yang terlihat kuat itu justru yang paling rapuh perasaannya.

Agatha Aradilla.

***

Suasana hati Agatha sedang baik pagi ini. Selain karena kemarin ia jadian dengan Arkan (meski cowok itu bersikeras tidak suka, Agatha tahu bahwa dalam hatinya dia setuju-setuju saja), lalu apa yang dikenakan di tangannya membuat ia sangat senang.

Gelang bertuliskan Alano's itu Agatha cium-cium, lalu ia terkekeh sendiri. Tidak waras.

Setelahnya, Agatha menyampirkan tas di bahu dan keluar dari kamar, bersiap untuk berangkat sekolah. Namun, baru saja ia menapaki tangga, suara ayahnya terdengar di belakang.

"Papa minta sama kamu untuk ikut ke rumah sakit," ucapnya.

Bagi Agatha, permintaan itu lebih terdengar seperti titah raja yang tak bisa ditentang. Ia menoleh dengan malas, menatap ayahnya dengan alis bertautan.

"Buat apa aku ke rumah sakit? Buat jadi 'sapi perah' lagi?" sinis Agatha.

Ayah Agatha menyipit, merasa tidak suka dengan ucapan Agatha yang terkesan terang-terangan itu. "Ucapan kamu itu tidak sopan, Agatha."

"Terus, aku harus ngomong gimana biar dikata sopan? Nurut? Biar anak kesayangan Papa itu baik-baik aja?"

Agatha melipat tangan di dada, matanya masih menatap ayahnya dengan kesal. "Aku. Mau. Sekolah."

Agatha sudah menapaki tangga lagi, tetapi ayahnya tidak membiarkan hal itu. "Kamu mau kurang ajar sama Papa?"

Intonasi pria paruh baya yang kini menahan tangan Agatha naik karena emosi, dia menarik paksa anaknya itu hingga kembali ke lantai dua. "Papa minta kamu ikut ke rumah sakit, sesulit itu sampai kamu nggak nurut?"

"Terus sekolah ak-"

"Nggak usah pakai alasan sekolah kalau absen kamu saja bolong-bolong! Sekarang ganti baju kamu dan ikut kami ke rumah sakit," titahnya dengan tegas.

Kalau tidak kualat, mungkin Agatha sudah mencakar wajah di depannya ini, atau bahkan menamparnya.

Selalu saja seperti ini. Ia diminta ke rumah sakit untuk melakukan transfusi darah dan akhirnya tidak dipedulikan lagi, tidak aneh kalau Agatha menggunakan istilah sapi perah untuk dirinya sendiri. Karena kenyatannya memang seperti itu.

"Kenapa harus aku? Rumah sakit sebesar itu pasti nyediain kantong darah yang cukup, kenapa harus aku yang dimanfaatin?!"

Napas Agatha memburu, dadanya naik turun dengan sesak yang terasa menyakitkan di sana. Tangannya mengepal kuat, mencoba menahan diri untuk tidak memukul pria yang merupakan ayah kandungnya ini.

"Biar aku yang bicara sama dia," ucap seseorang, membuat Agatha dan ayahnya menoleh bersamaan. Terlihat ibu tiri Agatha yang wajahnya sudah pucat karena khawatir. "Lebih baik kamu bawa Sherin ke mobil, dia sudah benar-benar lemah."

Sepeninggal ayah Agatha yang masuk ke kamar Sherin, Agatha menatap Angel dengan marah. "Urus aja anak kamu, jangan bawa-bawa aku," ketusnya.

Lagi-lagi ketika Agatha hendak pergi tangannya ditahan, tapi kali ini sedikit berbeda, karena sebuah tamparan mendarat di pipinya.

"Sherin sedang sakit, hampir sekarat dan kamu nggak mau bantu?! Apa gunanya kamu di keluarga ini? Nggak ada!"

Rahang Agatha mengeras, bersamaan dengan itu, rasa bencinya membuncah karena tak bisa ditahan lagi. "Terus gunanya lo apa, hah? Lo cuma wanita gatel yang gangg-"

Ucapan Agatha tidak selesai karena Angel sudah menamparnya untuk yang kedua kali, atmosfer di sekitar keduanya bisa dibilang sangat tidak mengenakkan. Yang satu marah, yang satu tersinggung. Benar-benar kombinasi yang tidak menguntungkan.

"Jaga ucapan kamu, Agatha. Setuju atau tidak, kamu tetap akan ikut ke rumah sakit untuk transfusi darah. Jika kamu menolak, siap-siap saja pergi dari rumah ini."

Agatha berdecih, ingin sekali menggores wajah culas itu dengan pisau paling tajam. "Emang bisa? Aku yakin Papa nggak akan ngelakuin hal i-"

"Ucapan Mama benar, Papa akan usir kamu dari rumah ini kalau kamu menolak ikut setiap kali kami minta," potong ayah Agatha tiba-tiba sembari memapah Sherin yang sulit berjalan dengan benar.

Sherin menggeleng lemah, ingin melayangkan protes tidak setuju tentang ucapan ayahnya tetapi ia tidak bisa, ia terlalu lemas dan tidak memiliki tenaga untuk itu.

Kepalanya terlalu sakit bahkan untuk mengaduh, sehingga ketika akhirnya ia digendong Sherin tidak melayangkan ucapan apapun.

Agatha​ membanting tasnya ke arah guci yang ada di sana, membuatnya pecah. Terlalu banyak emosi yang ingin dikeluarkannya. Namun, dengan membanting tasnya tadi tidak begitu membantu.

Tetap saja, hatinya sudah terluka dengan apa yang orang lain katakan takdir ini. Terlalu menyulitkannya, terlalu membuat Agatha merasa hancur berkeping-keping.

*

Agatha duduk di kursi belakang mobil, tempat biasa menyimpan barang sebagai hukuman karena dia membangkang. Seragamnya sudah berganti menjadi kaus putih polos dan celana jeans dengan panjang semata kaki.

Kalau saja Bunda masih ada, mungkin dia tidak akan seperti ini. Kalau saja Bunda masih ada, mungkin Agatha masih diperlakukan secara manusiawi. Kalau Bunda masih ada, mungkin ada yang menghapus air matanya kini.

Agatha sudah tahu semuanya akan berlangsung seperti ini, mereka harus bergegas untuk melakukan transfusi darah dari Agatha ke Sherin yang mengidap Thalasemia minor. Setelah itu, kedua orang tuanya akan diam menunggu di ruang di mana Sherin berbaring.

Dan Agatha, duduk diam di koridor dengan hanya sebotol air mineral di tangan.

Agatha merasa lemas, tentu saja. Dengan perlahan ia meneguk air minumnya, meski malah terasa pahit di kerongkongan.

Setelah itu, Agatha menatap nanar kepada siapapun yang lewat. Ia lapar, ingin pergi ke kantin rumah sakit yang katanya menyediakan makanan yang lezat.

Tapi, Agatha tidak punya uang untuk sekadar membeli roti.

Di saat-saat seperti inilah, Agatha sangat membenci hidupnya.

Andai saja Arkan ada di sini, mungkin Agatha bisa menampakkan senyum palsu, bisa bertindak centil walaupun hatinya sakit, bisa bersikap manja walaupun sakit kepala.

Dan Agatha memilih berdiri, melangkah gontai di sepanjang lorong rumah sakit dengan hati pedih.

Ia ingin pergi dari sana, bersama hatinya yang sudah tak berbentuk lagi.

***

Artha (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang