• Artha #31 •

244K 25.3K 2.1K
                                    

Agatha tersenyum menatap rumah besar dan megah di hadapannya ini. Bukan, bukan karena ukuran atau interior indahnya yang membuat Agatha kagum, tapi suasananya yang hangat dan atmosfir kekeluargaan yang sangat terasa di sana sangatlah menyenangkan.

Memang, sebagus apapun sebuah hunian, tidak akan berarti apa-apa jika isinya sepi dan tanpa adanya rasa kekeluargaan.

"Udah jangan norak, buruan masuk," ketus Arkan sambil menarik Agatha masuk, tak sadar bahwa kini tangan mereka saling menggenggam. Agatha menggigit bibir bawahnya, merasa gugup sekaligus senang.

Samudra yang baru turun dari lantai dua mengerutkan kening ketika melihat pemandangan itu, ia pikir Arkan tidak menyukai Agatha karena sikap anaknya itu selalu saja terkesan risi dengan kehadiran Agatha.

Ia menarik senyum tipis, sepertinya anak-anaknya sudah tumbuh besar. Lihatlah bagaimana cara mereka mengungkapkan rasa. Aland yang blak-blakan seperti dirinya dulu, lalu Arkan yang bersikap penuh kasih sayang dibalik sifat galaknya.

"Pacaran?" tanya Samudra ketika mereka melewatinya. Arkan melotot, melepas genggaman tangannya dan mendengus keras-keras. "Nggak!" bantahnya.

"Tapi kalo Om ngerestuin ya boleh aja, Om. Hehe," sahut Agatha yang sukses membuat Samudra menaikkan kedua alisnya. "Maksud kamu?"

"Nggak, Om. Nggak jadi." Agatha hampir saja menepuk dahi karena sudah keceplosan, Arkan sendiri sudah menapaki tangga menuju lantai dua.

"Hai."

Sapaan itu membuat Agatha dan Samudra menoleh, Lalisa datang dari dapur dengan wajah berseri-seri.

"Hai," balas Samudra.

"Siapa yang nyapa kamu? Aku nyapa Agatha. Ayo, Tha, kita mulai di dapur."

Agatha menahan diri untuk tidak tertawa sekeras mungkin, apalagi setelah ia berbalik sebentar dan mendapati mimik wajah sebal Samudra.

"Kita mau masak apa, Tante?"

"Gimana kalo soto? Soalnya Arkan suka banget sama makanan apapun yang ada mie-nya."

Agatha mengangguk-angguk, ia setuju saja dengan pilihan Lalisa. Toh ia memasak bersama dengannya saja sudah merupakan kesenangan tersendiri, apalagi sikap Lalisa yang ramah membuatnya nyaman.

Ditambah alasan lain, yakni mengobati rasa rindu Agatha terhadap almarhumah ibunya. Ia melirik Lalisa sekilas, wanita itu tampak fokus mengurus daging ayam.

"Selain mie, Arkan suka apa lagi?" tanya Agatha kemudian, hitung-hitung untuk mencairkan suasana. Untung Lalisa tidak seperti Samudra, kalau iya mungkin Agatha ikutan beku.

"Dia suka pir hijau, turunan banget. Tante suka, Sam suka, Aland suka, Arkan juga suka."

"Kompak banget," celetuk Agatha.

"Iya, makanya kalo misal ngumpul bareng yang dijadiin cemilan itu seringnya ya pir hijau. Tapi kadang-kadang mangga atau keripik kentang."

Agatha mendesah pelan. Lagi, hangatnya keluarga Alano membuatnya sangat iri. Andai saja keluarganya seperti itu, andai saja ia bisa merasakan kasih sayang seorang ibu, mungkin harinya tak lagi kelabu.

Lalisa mengernyit bingung ketika melihat Agatha mengerjapkan matanya beberapa kali dengan posisi menengadah, apa dia menangis? Padahal kan Agatha sedang tidak mengupas bawang. Di sini juga tidak ada tisu, sehingga Agatha tidak bernyanyi : empat lembar empat lembar saat aku menangis.

"Agatha, kamu kenapa?" tanya Lalisa lembut.

"Eh? Nggak papa, Tante."

"Kalo kamu punya masalah ya cerita aja, Tante siap dengerin kok. Nggak usah canggung gitu, anggep aja Tante sebaya sama kamu."

Artha (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang