Bab 19 - A Father's Wish

853 100 0
                                    

Rae duduk bersandar pada punggung Seth. Tangannya terus menggoreskan garis di atas buku sketsa hingga membentuk sebuah pedang sabre dan foil yang sangat indah. Ia tak begitu jago menggambar, tapi entah kenapa hari itu ia ingin menggambar kedua benda itu. Sabre mewakili Seth dan foil mewakili dirinya sendiri. Hanya mereka berdua, seperti siang itu.

Siang itu begitu tenang. Hanya ada suara deburan ombak, suara burung camar, dan udara sejuk yang menyelinap dari celah pintu dan jendela villa keluarga Walden. Setelah huru-hara di hari pertunangannya, Rae benar-benar ketakutan kalau nanti tiba-tiba ibunya, orang-orang Arvin, atau media akan mencari mereka seperti anjing yang mengendus bau daging asap. Tapi Walden menepati janjinya, bahwa tak ada yang akan bisa menemukan keberadaan mereka berdua di sana. Terkadang Walden mampir untuk membawakan sesuatu dan tiap kali mampir cowok itu berkata untuk tidak usah khawatir. Memang ada kekacauan besar setelah hari itu—keluarga Harrison, Bradford dan Ashcroft sempat bersitegang. Tapi kemudian Nolan dan Sawyer berhasil mengatasi hal itu—entah apa yang mereka berdua lakukan.

Paling tidak selama empat hari ini mereka bisa bernapas tenang. Bahkan mereka tidak tertarik untuk memikirkan apa yang harus mereka lakukan setelah ini. Minggu depan adalah hari turnamen dan mereka mau tak mau harus keluar dari persembunyian. Tapi seperti apa yang selalu terjadi pada turnamen-turnamen sebelumnya, pikiran mereka hanya berfokus pada turnamen dan mereka tak peduli pada hal lainnya. Bahkan kalau gedung sebelah arena terbakar, mereka mungkin masih akan tetap bertarung.

"Foil?" tanya Seth saat melihat apa yang sudah digambar oleh Rae. "Bukannya kau akan main epee?" godanya.

"Jangan gila. Aku nggak akan main epee." Rae memasukkan pantat pensilnya ke lubang hidung Seth dan mendorong wajah Seth sampai laki-laki itu terjungkal.

"Iya, iya, iya!" Seth memohon ampun. Ia menyentuh rambut Rae, merapikan helaian rambut yang mencuat, menyisipkan jemarinya hingga bisa memegang bagian belakang kepala Rae, lalu mencium bibir Rae dengan perlahan.

TOK! TOK! TOK!

Mereka berdua berhenti dengan bibir masih saling menempel dan pandangan sama-sama melirik ke arah pintu. Siapa yang mengetuk pintu siang ini? Walden baru saja pulang tadi pagi, jadi mustahil rasanya cowok itu kembali.

"Kau diamlah di sini," pinta Seth yang kemudian berjalan menuju pintu untuk melihat siapa yang mengetuk pintu. Tak lama kemudian, Seth kembali dengan wajah tegang membuat Rae semakin bertanya-tanya siapa yang ada di pintu. "Rae, ada tamu untukmu," Seth memberitahu dengan suara yang agak gugup.

Tamu? Siapa lagi yang mengetahui tempat ini? Dan kenapa wajah Seth tegang seperti itu? Apa semuanya masih baik-baik saja?

"DAD?!" seru Rae saat melihat sosok ayahnya ada di depan pintu dengan trench coat abu-abu dan topi bowler hitam. Rasanya sudah lama sekali ia tidak bertemu ayahnya dan kini ia merasa wajah ayahnya lebih tua dan keriput dari terakhir kali ia melihatnya.

"Hai, Rae." Ayahnya langsung memeluk Rae dengan erat. "Seth sudah setuju untuk memberi kita waktu ayah-dan-anak sebentar. Kau mau jalan-jalan di pinggir pantai?"

"Err...oke..."

Rare mengikuti ayahnya berjalan menyusuri pantai dan berhenti untuk duduk di atas tembok pembatas. "Jauhkan benda itu dariku," ujar Rae sebelum ayahnya sempat menyalakan rokoknya. Rae masih membenci ayahnya kalau merokok.

"Ah, maaf." Ayahnya segera menjejalkan rokok itu kembali ke dalam kantong jaketnya. "Bagaimana kabarmu?"

Rae mendengus mendengar basa-basi dari ayahnya yang payah itu. "Bagaimana kalau kita mulai dari kenapa kau bisa sampai ke sini, Dad?"

En Garde!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang