Bab 8 - Penyerangan

834 95 0
                                    

Nolan duduk membaca koran tanpa ada yang berani mengganggunya. Bahkan pelayan restorannya sendiri pun tak berani menawarkan untuk mengganti sup salmonnya yang pastinya sudah dingin. Ada artikel di koran itu tentang Arvin Ashcroft yang sangat menarik perhatiannya hingga membuatnya mengabaikan makan siangnya. Nolan pernah bertemu Arvin sekali pada Mei tahun lalu dan tak begitu menyukai kesan pertama pertemuan mereka. Semua orang tahu Arvin adalah seorang pengusaha muda yang ambisius, kejam, dan tak kenal ampun. Pria itu juga memiliki sebuah perusahaan keamanan nomor satu di negara itu, membuatnya memiliki hubungan dekat dengan berbagai geng dan preman.

Pria itu adalah seseorang yang harus ia hindari, tentunya.

Tak ada yang membuatnya bisa melipat koran itu kecuali suara langkah sepatu yang menghampirinya. "Terima kasih sudah mau datang," sapa Nolan.

"Ada apa?"

"Hanya ingin mengajakmu makan siang biasa." Nolan menyunggingkan senyumnya walaupun tahu Sawyer tak akan mempercayainya begitu saja kalau melihat dari matanya.

Sawyer menarik kursi di hadapannya dan duduk. Ia terlihat tenang tapi matanya tetap mengawasi Nolan. "Sengaja meluangkan waktu makan siangmu hanya untuk menemuiku. Coba kutebak, pasti ini bukan 'hanya makan siang biasa'."

Nolan tertawa mendengar sindiran sahabatnya itu. Dari dulu Sawyer selalu berhasil menemukan kata-kata halus tapi tajam untuk menyindir seseorang. Ia harus memasukkan keahlian itu ke resumenya.

"Jadi, jadwal makan siang dengan siapa yang kau singkirkan hanya untuk menemuiku? Coba kutebak, calon investor?" tanya Sawyer sambil mengambil handuk hangat untuk membersihkan tangannya.

"Hanya ibuku." Nolan menyingkirkan korannya lalu membenahi posisi duduknya menjadi lebih tegak. "Ah? Supku sudah dingin?" gumamnya kecewa. Saat itulah si pelayan akhirnya berani menawarkan untuk membawakan yang baru.

"Jangan macam-macam dengan Ibu Suri. Ngomong-ngomong, apa yang kau sarankan dari restoran bintang limamu ini?" tanya Sawyer tanpa membuka buku menu sama sekali.

"Ikan buntal."

Sawyer menatap Nolan dengan mata curiga. "Kau mau membunuhku?"

"Kalau aku mau membunuhmu, sudah kulakukan dari dua puluh tahun yang lalu, bodoh."

"Baiklah kalau begitu. Aku pesan apa yang kalian sarankan," ucapnya pada si pelayan. Tanpa menunggu makanan pembukanya, Sawyer memulai pertanyaan pembukanya, "Ada apa sebenarnya?"

"Hmm... Kau tahu apakah anak-anak itu terlibat suatu masalah belakangan ini?"

Kali ini Sawyer benar-benar menyimak karena pembicaraan ini pasti menyangkut adik perempuannya. "Nggak. Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?"

"Dua minggu lalu Rae menghubungiku, memohon pekerjaan paruh waktu untuk teman mereka, kalau tidak salah namanya Deion Kay. Aku baru saja mewawancarainya Senin lalu. Sebelumnya ia kerja di sebuah bar kecil di dekat apartemennya."

"Apa anak itu bermasalah?" Sawyer bertanya sambil memutar-mutar gagang pisau di tangan kanannya. Ia nampak sangat gelisah.

"Tidak, tidak. Anak itu malah sangat baik dan rajin—membuatku heran masalah apa yang membuatnya dikeluarkan dari pekerjaannya yang sebelumnya."

"Bisa saja anak itu memang ingin cari penghasilan yang lebih. Dari bar kecil ke klub malam elit, wajar kan?"

"Iya sih..." Nolan melipat tangannya dan menopang dagunya dengan kedua tangan itu, lalu melanjutkan, "Kalau saja nggak ada sebuah van hitam yang mengawasi rumahku belakangan ini, aku akan percaya kalau semuanya memang wajar."

En Garde!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang