Bab 17 - D-day

871 97 0
                                    

Sabtu ini bukan hari Sabtu yang biasanya.

Sabtu jam tujuh pagi biasanya Seth akan berlari menuju mobilnya dengan roti terjepit di mulutnya, meninggalkan kakaknya yang masih belum sadar dari mabuk beratnya, karena kalau terlambat lima menit saja Rae pasti sudah cemberut selama latihan. Sabtu pagi adalah jadwal latihan intensif mereka. Biasanya Seth akan melupakan Sabre-nya dan menemani Rae berlatih dengan foil. Hanya mereka berdua.

Sabtu ini, Seth hanya duduk mengunyah roti lapisnya sambil menatap koran yang ada di tangannya. Bukan menatap penuh amarah pada wajah Arvin yang memenuhi setengah halaman depan, tapi sekedar menatap kosong. Ia bahkan tak mempedulikan judul berita yang mengumumkan bahwa Ashcroft Co akan berekspansi bersama lini usaha milik keluarga Harrison. Tidak ada wajah Rae di sana—itu saja sudah cukup bagi Seth.

Ia menelan roti di dalam mulutnya dengan susah payah, seakan-akan ada duri di dalam tenggorokannya. Akhirnya ia menjejalkan air putih untuk melumatkan roti itu dan memaksanya turun ke perutnya. Tak ada rasa menjijikkan yang dirasakannya. Lidahnya sudah mati rasa dari saat Rae datang memberikan undangan pertunangannya. Ia mencoba menelan roti kedua, tapi di tengah-tengah kunyahannya ia mendadak merasa malas mengunyah dan memuntahkan semua yang ada di dalam mulutnya.

Seth menatap pantulan layar ponselnya sendiri dan bertanya-tanya siapa laki-laki yang sedang menatapnya sekarang. Matanya merah dengan lingkaran hitam menyelubungi bagian bawah matanya. Laki-laki itu terlihat seperti laki-laki yang paling menyedihkan di dunia ini. Semua rasa penyesalan menumpuk dan menyelubungi air mukanya sampai tak ada bedanya lagi antara wajahnya dengan tumpukan sampah. Seth kemudian mengedip dengan susah payah. Ia menutup matanya sendiri dengan tangan kanannya karena terasa perih tiap kali mengedip, padahal ia tidak habis menangis. Atau mungkinkah ia menangis dalam tidurnya?

"Kau masih di sini?"

Seth menoleh enggan saat mendengar suara itu. Seperti dirinya sendiri, Nolan agak terkejut saat melihat wajah Seth pagi itu. "Memangnya kenapa?" tanya Seth dengan suara agak parau akibat tak bicara sama sekali dari kemarin. Ia bahkan tidak tertarik untuk bertanya mengapa Nolan sudah berpakaian rapi di hari Sabtu itu.

"Pernikahan Sawyer dan pertunangan Rae, kau lupa?" Nolan menyampirkan jasnya di punggung kursi lalu duduk menghadap Seth, menunggu reaksi dari adiknya. Ia tahu adiknya tak mungkin lupa, tapi sikap adiknya yang hanya menunduk kembali ke korannya dan terus mengunyah, membuatnya geram. "Kau tak akan datang sepertinya?"

Seth tak menjawab. Masih terus mengunyah. Mungkin roti di dalam mulutnya sudah berubah jadi bubur sekarang.

"Aku kecewa padamu." Nolan menuangkan kopi dan gula ke cangkirnya dan mengaduknya dengan kasar.

"Memangnya kalau aku datang, pertunangannya bisa batal?" kesinisan memenuhi nada bicara Seth.

"Aku justru mengira kau sudah merencanakan sesuatu untuk menyelamatkan Rae." Nada suara Nolan terdengar tetap tenang tapi Seth tahu di dalam kepalanya, kakaknya sedang membayangkan melemparnya ke luar jendela.

"Aku bukan Nolan Bradford."

"Tapi kau Seth Bradford kan? Setahuku Seth Bradford pasti akan melakukan apapun untuk mempertahankan miliknya—"

"Rae bukan milikku—"

"Tapi hatinya milikmu."

Seth tadinya sudah siaga, mengantisipasi apa yang akan dilakukan Nolan. Terakhir ia membangkang pada kakaknya, Nolan memblokir semua kartu kreditnya sampai ia benar-benar bangkrut. Tapi melihat raut wajah kakaknya yang melunak, justru membuatnya kebingungan.

Nolan menghela napas panjang. Pria itu mendorong cangkir kopinya menjauh dan membersihkan cipratan kopi di sekitar tangannya. Nolan selalu melakukan hal-hal yang tidak perlu, seperti mengelap meja, melipat tissue, bahkan menghitung butiran gula pasir, saat ia ingin mengatakan sesuatu yang selama ini ia sembunyikan. "Malam saat terakhir kau melihatku dengan Rae, aku belum menceritakan semua yang terjadi." Nolan menyeruput kopinya lagi lalu meletakkannya kembali dengan sedikit noda kopi menempel di bibir cangkir itu. Ia mengelap bibir cangkir itu hingga benar-benar bersih.

En Garde!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang