Bab 13 - A Man, His Pride, and His Broken Heart

874 99 1
                                    

Nolan turun ke ruang makan dengan masih mengenakan baju tidurnya. Ia mengambil koran di rak baca dan duduk di depan adiknya. "Kenapa?" tanyanya tanpa membalas tatapan Seth. Ia membaca cepat isi halaman depan koran itu. Masih berita yang sama dengan yang kemarin, jadi ia membuka halaman berikutnya.

"Apa yang habis kau lakukan semalam sampai wajahmu kacau seperti itu?"

Ia menyeruput kopi paginya sambil melirik adiknya. Adiknya masih menatapnya dengan tatapan heran. Memangnya wajahnya sekacau apa? Ia belum sempat bertemu satu cermin pun jadi ia tak tahu. Yang jelas cekungan hitam pasti sudah muncul di bawah matanya karena semalaman ia tak bisa tidur.

"Mana Rae? Dia di kamarmu semalam kan?"

"Pulang." Nolan melipat koran itu lalu mengambil koran lainnya, kali ini koran ekonomi.

"Jadi kalian pasti sangat menikmati malam tadi ya?"

Nolan mencoba menahan tawanya melihat wajah cemberut adiknya. Sudah lama ia tak melihat wajah Seth yang seperti balon kempes itu.

"Ledek saja aku terus!" Seth menggerutu kesal sambil memotong kasar telur setengah matangnya. Kuning telurnya meleleh dan menjalar ke segara penjuru piringnya. Nolan menghela napas dan akhirnya buka mulut, "Nggak ada apa-apa di antara kita. Semuanya pura-pura. Kita cuma mau mengerjaimu."

Seth menjatuhkan garpu dan pisaunya dengan bunyi denting keras. Pisau itu mencipratkan kuning telur ke atas meja dan garpunya meluncur turun menghantam lantai. Kini Nolan benar-benar tertawa, "Kau cemburu?"

"Aku nggak—"

"Jangan bohong. Kau harusnya lihat wajahmu tadi."

Mereka berdua melanjutkan sarapan masing-masing dalam diam. Hanya ada bunyi suara kertas koran yang dibalik-balik. Nolan sudah menghabiskan 3 koran bahkan sebelum roti lapisnya habis.

"Jadi..." Seth mencoba memastikan kembali. "Kalian nggak benar-benar pacaran?"

"Nggak."

"Dia nggak pernah benar-benar akan tunangan denganmu?"

"Nggak. Itu berita dari mana?" tanya Nolan sembari memicing membaca grafik saham di koran itu. Setelah memastikan keadaan baik-baik saja, Nolan benar-benar menutup korannya dan menghabiskan kopinya.

"Ada deh. Jadi, semalam nggak terjadi apa-apa di antara kalian?"

Nolan bukannya menjawab, ia malah bangkit dari kursinya dan berkata, "Aku mandi dulu. Jangan makan pie apel di kulkas," pesannya. Adiknya mungkin mengira ia kesal karena terus diinterogasi seperti itu, maka adiknya tak bersuara lagi. "Sedikit saran untukmu, Seth."

Seth mendongak. "Apa?"

"Pergi ke rumahnya dan minta maaf. Jangan seperti anak kecil."

Kemudian Nolan berlari menaiki tangga dan menuju kamar mandi di dalam kamarnya. Setelah melepas pakaiannya, ia menyalakan showernya—hangat, seperti yang ia butuhkan saat ini. Nolan membungkuk dan menyandarkan keningnya di dinding sambil membiarkan air dingin mengguyur tubuhnya. Ia mendengus teringat pertanyaan adiknya tadi. Jadi, semalam nggak terjadi apa-apa di antara kalian?

Apa yang seharusnya ia katakan? Apa ia harus berbohong dengan menjawab 'tidak terjadi apa-apa'? Apa harus jujur—dan mempermalukan dirinya sendiri—dengan bilang kalau Rae habis menolaknya mentah-mentah semalam?

Ya. Rae menjadi satu-satunya gadis yang pernah menolaknya.

"Aku mencintaimu, Raelyn Harrison."

Masih terasa dengupan jantungnya semalam saat ia memutuskan menanggalkan harga dirinya untuk mengatakan satu kalimat itu. Tenggelam dalam adrenalinnya sendiri, Nolan tak bisa berhenti meracau, "Aku bisa melakukan apapun, Rae. Dan aku akan melakukan apapun untukmu. Kau hanya perlu menyebutkannya." Kemudian bibir itu menyusuri leher Rae perlahan. Nolan langsung tahu kalau itu adalah titik terlemah Rae karena Rae tak bisa mengendalikan tangannya untuk tidak mencengkeram tubuh Nolan.

En Garde!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang