37

210 17 0
                                    

Alfina membuka matanya perlahan, perempuan itu masih berusaha mengenali ruangan disekitarnya.

"Kenapa.. aku dikamar?" Tanyanya sendiri.

Seingatnya, semalam ia duduk didepan ruangan kerja Alfin lalu tertidur.

"Alfin sudah keluar!" Alfina berteriak histeris, segera ia membuka selimut yang menyelimuti tubuhnya dan berlari menuju ruangan kerja Alfin.

Senyum Alfina pudar ketika ia melihat pintu itu masih tertutup, sama seperti kemarin.

Alfina mendekat, "Selamat pagi sayang."

Alfina tersenyum seolah Alfin ada dihadapannya, "Kamu lagi apa didalam? Ohiya, kamu yang pindahin aku tidur ya? Makasih ya sayang. Hm,  Boleh kamu keluar?"

Alfin didalam mengangguk kecil, air matanya sudah tidak keluar lagi. Mungkin kering karena ia terus menangis semalaman.

Setelah membaca surat yang diberi Alfina, Alfin semakin sedih. Iapun berniat keluar untuk melihat Alfina tidur, ternyata istrinya itu tertidur tepat saat Alfin baru membuka pintu kerjanya.

Dada Alfin sesak, segera ia memindahkan istrinya kedalam kamar dan menyelimuti tubuh Alfina.

Wajah Alfina tertidur pulas, Alfin sangat rindu Alfina seharian ini. Dikecupnya kening Alfina yang tidak bergerak itu.

"Maafin aku, karena aku, kamu ngga bisa punya keturunan." Ucap Alfin sedih. Lalu Alfin kembali kedalam ruangan kerjanya.

"Sayang." Panggil Alfina lagi dari luar.

"Maafin aku." Ucap Alfin tanpa suara.

"Kamu mau makan apa? Aku masakin nasi goreng ya." Alfina tersenyum tipis melihat makanan yang ditaruh Alfina dimeja pun kemarin bahkan masih utuh, tidak berkurang sedikitpun.

"Kamu ngga lapar? Aku ngga mau kamu sakit." Alfina tersenyum.

"Yaudah aku disini aja. Aku mau cerita sama kamu. Mau dengar?" Alfina menunggu jawaban Alfin.

Alfina mulai menangis, "Aku harap dengan diamnya kamu itu jawaban 'iya'."

Didalam, tanpa Alfina tau. Alfin ikut menangis.

"Kamu ingat? Waktu pertama kali kita ketemu di bis. Terus Pak Hud yang bilang kita kembar? Ohiya! Kamu yang selalu diam dikantin sambil dengerin musik? Kamu ingat ngga? Kayaknya dulu kita malu - malu kucing ya." Alfina menyeka air matanya.

"Ah, Arin. Apa kabar dia sekarang? Kamu harus tau, dulu aku cemburu banget sama dia. Aku kira kamu sama dia itu pacaran, taunya dia itu sahabat kamu. Arin, aku ngga nyangka dia sebaik itu. Waktu pernikahan kita aja, dia rela ikut begadang buat bantuin segala hal. Aku jadi rindu dia." Alfina menatap pintu yang sedikit berbunyi.

Alfin mengubah posisi duduknya, terlihat dari bayangan diluar, Alfina menatap bayangan Alfin yang bergerak dari celah kecil dibawah pintu.

Alfina tersenyum, Alfin ternyata berada dibalik pintu ini.

"Ah, malam itu. Aku jadi ingat betapa sakitnya aku tau kebohongan yang kamu lakuin sama aku. Tapi, aku juga salah. Karena aku terlalu egois dan ngga mau dengerin penjelasan kamu. Maaf waktu itu aku masih kekanakan." Alfina menyentuh pintu dan mengetuknya pelan.

"Aku bahkan sempat kaget waktu pertama kali lihat kamu untuk pertama kalinya lagi. Waktu itu kamu beda, dan dari tatapan itu aku jadi jatuh cinta lagi. Eh salah, dari dulu aku memang sudah jatuh cinta sama kamu. Ohiya, kamu ingat waktu aku ajak main tapi kamu malah tutup jendela dan bilang kamu mau tidur saat tk dulu? Setelah itu kamu tinggalin aku. Dan pergi ke Bandung.

Eh tunggu, kenapa aku baru sadar kalau kamu selalu pergi dan tinggalin aku ya? Waktu kamu ke Bandung kita bertemu lagi di SMA dan malam itu kita bertemu lagi di Yogya. Mengapa takdir membuat kita terpisah? Kamu tau jawabannya?" Alfina menunggu jawaban.

"Karena disetiap pertemuan pasti ada perpisahan. Dan jika kita berpisah, aku yakin kita akan bertemu lagi karena kamu adalah jodoh aku. Jadi, kemanapun kita berpisah kita pasti akan bersama. Aku sangat yakin itu." Alfina tersenyum.

Suara kunci pintu yang terbuka membuat Alfina berdiri karena pasti Alfin akan keluar dari balik pintu itu.

"Krieeet" Pintu terbuka perlahan. Tak lama Alfin keluar dari pintu itu.

Ada sisa air mata diujung matanya, dan lengkungan hitam dibawah matanya. Yang Alfina sangat yakin pasti Alfin tidak tidur samalaman.

Alfin tersenyum pada Alfina sebelum lelaki itu memeluk Alfina erat dan tumpahlah lagi air matanya pada bahu Alfina.

"Maafin aku, maaf" Hanya itu yang diucapkan Alfin.

Alfina tersenyum, ia tidak lagi menangis karena yang ditangisinya pun sudah berada pada pelukannya, ia justru bahagia.

"Untuk apa? Aku bahagia jika kamu disini. Jadi, jangan pernah menyendiri lagi. Karena tanpa kamu rasanya aku sepi." Ucap Alfina yang memeluk Alfin erat.

Keduanya masih berpelukan disaat matahari sudah bertengger tepat diatas kepala.

"Aku sayang kamu Alfin." Ucap Alfina lagi.

Alfin mengangguk, lelaki itu melepas pelukannya perlahan. Alfin hanya diam tersenyum menatap Alfina.

"Maafin ak-"

"Ssssst" Alfina menghentikan ucapan Alfin dengan jari telunjuk yang tiba - tiba menutup bibir Alfin.

"Jangan minta maaf lagi. Aku ngga butuh permohonan maaf aku cuma butuhnya kamu." Alfina tersenyum.

Alfin tersenyum, diciumnya kening istrinya itu hangat.

Alfina ikut mencium hidung suaminya. "Jangan sendiri, aku sepi."

"Aku ngga bakal sendiri lagi, karena ada kamu disini." Alfin tersenyum.

Keduanya bersama, dengan pelukan hangat yang mengalir karena rindu yang terasa berat menaungi mereka.

Karena bahagianya Alfina, hanyalah ada pada suaminya. Dan itulah kebahagiaan yang Alfina yakini akan membuatnya merasa damai selamanya.


Tamat.

------------
Cie cepet ciee heheh. Waaaaah udah tamat aja nih. Heheh makasih buat kalian yang udah baca sampai sini. Aku berterimakasih banyak. Tanpa kalian cerita ini hanya akan menjadi onggokan sampah di otak aku tanpa aku mau melanjutkan ceritanya.

Ah, aku sayang kalian lebih dari aku sayang doi. Eh? Hehehe ngga canda deng.

Ah intinya makasih banyaaaaaaak! Maaf kalau menurut kalian ceritanya garing, atau ceritanya gajelas, atau ceritanya alurnya aneh. Maaf, aku masih pemula dan masih banyak yang harus diperbaiki. Tapi, makasih buat kalian yang dukung aku dengan kirim dm, comment, like dan tambah ke reading list. Makasih banyaaak.

Love you so much. 💖

"Selesai nih?"
Ngga kok masih ada epilog heheh. Dah ah baaay! Love you dear.

Holis.

Childhood MemoriesWhere stories live. Discover now