14

177 16 0
                                    

"Ya mungkin aja perempuan itu teman Alfin yang di Bandung Al. Lo jangan mikir yang negative." Lian memberitahu Alfina.

"Tapi lo taukan, Alfin itu pindah ke Bandung waktu kelas tiga SD dan disana dia kecelakaan jadi pasti kenangan kecil Alfin sama gue itu tergantikan dengan kenangan baru Alfin dan Arin. Dimana Alfin pasti ngga sengaja ngelupain gue karena udah ada Arin yang gantiin posisi gue. Paham?" Alfina tidak bisa berpikir positive.

Lian terdiam, benar apa yang diucapkan Alfina. Sudah pasti Alfin memang tidak sengaja melupakan Alfina. "Jadi sekarang lo harusnya ungkapkan yang sebenarnya ke Alfin."

Alfina tersenyum miris, "Terlambat yan. Alfin udah benar - benar ngga ingat gue. Waktu pertama kali kita ketemu juga karena kita dikenalin sama Rio. Bukannya Alfin yang ingat gue."

Lian sedih dengan ungkapan yang Alfina utarakan. "Belum terlambat kok Al. Ingatan Alfin masih bisa dikembaliin, walaupun sekarang dia lebih sering sama perempuan itu."

"Dan dengan dia lebih sering bareng perempuan itu. Udah pasti usaha gue buat kembaliin ingatan Alfin yang hilang otomatis gagal karena gue yang udah tersingkir dari kehidupan Alfin." Alfina mengeluarkan sebulir air matanya.

Lian terdiam, ia tidak tau harus mengatakan hal apalagi yang membuat Alfina kembali berpikir positive.

Alfina tersenyum miris, "Mungkin memang seharusnya kayak gini Yan. Gue harus apa? Ngeliat Alfin senyum sama gue itu udah cukup kok."

Lian memeluk Alfina, "Lo yakin ngga apa - apa? Gue bingung harus gimana disaat lo kayak gini-"

Alfina balas memeluk Lian, "Ngga apa - apa Yan. Mungkin memang kayak gini takdirnya. Gue bersyukur disaat gue sedih kayak gini masih ada lo yang hibur gue. Makasih Yan."

Lian melepas pelukan, jarinya mengusap air mata yang berada di pipi Alfina. "Dan sekarang lo jangan nangis lagi ya Al. Gue ada disini, semuanya memang harus ditakdirkan kayak gini. Kita sebagai manusia harus bisa menerima. Gue yakin kok Al, disuatu hari nanti udah pasti ada lelaki lain yang udah Allah swt siapkan buat lo. Jadi lo jangan sedih lagi ya?" Lian tersenyum.

Alfina mengangguk, "Iya, gue ngga bakalan sedih - sedih lagi. Yaelah, cengeng banget ya gue?"

"Ngga kok, menangis itu wajar. Karena orang kuat sekalipun kalau ia punya masalah yang berat pasti nangis kok Al." Lian tersenyum.

"Aaah, gue seneng bisa ketemu orang kayak lo!" Alfina memeluk Lian lagi.

"Yaudah, sekarang janji ya sama gue jangan pernah sedih hanya karena lelaki itu. Okey?" Lian tersenyum.

"Iya gue janji." Alfina tersenyum.

Keduanya masih berpelukan. Melepas kesedihan yang melanda keduanya. Takdir memang tidak pernah bisa ditebak. Mungkin ini memang sudah takdir Alfina. Dan Alfina harus menerima takdirnya. Baik itu baik untuk Alfina maupun menyedihkan untuk Alfina. Alfina harus menerimanya dengan lapang dada.

--------------
Vian berdiri tepat didepan gudang kecil belakang sekolahnya. Sudah beberapa minggu ini ia tidak mendapatkan surat rahasia itu. Namun pagi tadi surat itu kembali datang dengan isi yang membuat Vian sedikit tidak siap dengan kenyataannya.

"Kita sudah kenal lumayan lama. Walaupun kita tidak pernah berbicara lama tetapi pembicaraan saat itu cukup untuk membuatku mengenalimu. Hai Vian, kuharap kamu datang disaat jam pulang sekolah berakhir ke gudang kecil di belakang sekolah. Aku akan menunggumu disana. Kali ini aku yakin aku akan mengenalkanmu pada identitasku yang sebenarnya. Kuharap kamu datang, G"

Dengan tekad penuh Vian membuka pintu gudang yang sudah tua itu.

Tanpa Vian sadari seseorang sudah berdiri jauh dihadapannya dengan degup yang berkali lipat kencangnya.

Vian menutup pintu tersebut lalu baru ia ketahui bahwa ia tidak sendirian didalam gudang ini.

Seseorang dihadapan Vian terbatuk. Dengan keadaan ia yang membelakangi Vian, Vian masih belum bisa tau siapa seseorang tersebut.

"Kamu siapa G?" Vian bertanya.

Seseorang itu berbalik. Dan membuat Vian yang samar - samar kini melihat wajahnya walaupun dalam keadaan yang gelap ini.

"Febby?" Vian tidak percaya.

Febby mengangguk, "Hai Vian. Makasih udah datang."

"Lo pengirim surat itu?" Vian masih kebingungan.

Febby mengangguk, "Iya itu gue. G."

"Nama lo kan Febby dari F bukan G?" Vian tidak percaya.

"Febby Ghifanny. Itu nama panjang gue. Gue sengaja kirim surat ke lo dengan nama kedua gue. G dengan Ghifany." Febby menjelaskan.

Vian terdiam, kenapa ia tidak pernah sadar selama ini. Bisa jadi G itu bukan nama panggilan tetapi nama lengkap.

"Ohgitu, Kenapa harus lewat surat?" Vian bertanya lagi.

Febby tersenyum, "Lo tau kan? Gue sama lo kurang dekat?"

Vian mengangguk, "Iya tapi kan kita bisa ngobrol dijam istirahat?"

"Lo basket tiap jam istirahat Yan." Febby tersenyum.

"Iya juga ya." Vian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Febby terkekeh, "Sibuk basket sih."

Vian tersenyum.

Keduanya terdiam, dalam jarak yang lumayan jauh ini membuat keduanya semakin canggung.

"Feb, sebenarnya-"

"Sebenarnya kenapa Yan?" Febby bertanya.

"Sebenarnya.." Vian ingat janji lo buat ngga suka sama Febby. Ingat Devin Yan!! "Sebenarnya gue ada latihan basket abis ini jadi gue ngga bisa lama - lama Feb. Makasih ya selama ini lo udah kasih gue surat gue seneng ternyata itu elo Feb. Makasih banget dan maaf gue ngga bisa lama - lama. Gue duluan ya Feb" Vian tersenyum lalu bergegas pergi untuk menuju halte bis dan pulang.

Maaf gue bohong Feb. Sebenarnya hari ini ngga ada basket. Gue ngga mau lo sampai tau perasaan gue. Maaf Feb. Gue suka lo dan cukup gue aja yang tau. Febby maaf. Batin Vian memohon.

Febby masih berdiri menatap kepergian Vian digudang kecil itu.

Perempuan itu tersenyum. "Setidaknya gue sama lo jadi deket Yan. Padahal ada hal penting yang harus gue bicarain lagi. Tapi ngga apa - apa. Sampai jumpa lagi Yan."

Febby mengambil tas ranselnya dan berdiri menatap gudang kecil sekolahnya lama. "Terimakasih gudang kecil udah jadi saksi bisu pertemuan antara aku dan Vian." Febby mengelus dinding gudang itu lembut.

"Sampai jumpa lagi sekolah," Febby tersenyum pada sekitar lalu segera ia menuju gerbang sekolah untuk pulang kerumahnya.

----------------
"Muka lo pucet amat Yan. Sakit?" Alfina kebingungan melihat adiknya yang baru saja pulang berwajah pucat.

Vian menggeleng, "Gue ke kamar ya. Bilang bunda gue udah pulang. Dah!" Vian berlari menuju kamarnya.

"Kenapa lagi itu anak?" Alfina kebingungan. Perempuan yang kini sedang memainkan handphonenya itu tidak sengaja melihat fotonya dengan foto Alfin yang sengaja Alfina foto agar ia simpan dihpnya.

Alfina menekan tombol delete. Muncul opsi Apakah anda yakin ingin menghapus gambar ini? Ya Tidak.

Alfina terdiam. Lama berpikir akhirnya Alfina menekan tombol Ya. Dan fotonya dan Alfin terhapus.

"Selamat tinggal kenangan lama." Alfina tersenyum miris menatap layar handphonenya.

Kini Alfina sedang belajar untuk melupakan Alfin dan semua masa kecil antara ia dan Alfin.
Yang memang seharusnya sudah Alfina lupakan sejak dulu.
---------

Childhood MemoriesWhere stories live. Discover now