16

184 13 0
                                    

Semenjak Arin hadir, kehidupan Alfina jadi berubah. Perempuan yang terkadang dipanggil Aal ini selalu saja menghindar ketika ia tidak sengaja bertemu dengan Alfin. Seperti saat ini ketika Alfina bergantian jadwal untuk memanggil guru tidak sengaja Alfin dan Alfina berlawanan arah di lorong yang sepi karena semua murid sedang belajar.

Alfin sudah menatap Alfina dari kejauhan, Alfina yang tau Alfin berada dihadapannya lebih memilih untuk menatap lantai koridor yang sedikit kusam karena terinjak alas kaki orang - orang yang melewatinya.

Saat keduanya sudah dekat, Alfina akhirnya menatap Alfin yang sedang tersenyum kepadanya. Alfina hanya menatap Alfin datar dan hal itu membuat Alfin menghentikkan langkahnya ketika Alfina sudah melewati dirinya.

"Alfina berubah?" Ucap Alfin yang merasa kebingungan dengan sikap Alfina.

Jauh dilubuk hati Alfina. Justru perempuan itu bersorak senang karena dirinya sudah bisa mulai melupakan Alfin.

"Alfina kenapa ya?" Alfin berbicara pada dirinya sendiri. Sejak kejadian di lorong tadi membuat hari - hari Alfin kembali memikirkan tentang Alfina.

Alfina yang menjadi cuek, Alfina yang tidak tersenyum saat bertemu dengannya dan Alfina yang lebih memilih berdiri dibandingkan duduk disampingnya saat di bis saat itu. Alfina berubah dan hal itu membuat Alfin kembali memikirkan masa - masa indahnya dengan Alfina.

Iya, sejak saat Alfin bertemu Alfina dibelakang sekolah saat itu satu per satu kenangan masa kecilnya dan Alfina bermunculan dan hal itu membuat Alfin ingin dekat dengan Alfina seperti dahulu kala.

Tetapi sayang, seseorang muncul dan membuat Alfin kesulitan untuk menggapai Alfina. Rio, terlihat jelas bahwa Rio menyukai Alfina. Dan hal itulah yang membuat Alfin menjadi kesulitan untuk lebih dekat dengan Alfina lagi.

Rio sudah sangat baik pada Alfin sejak ia pindah rumah. Tetangganya itu sudah banyak membantu Alfin jika Alfin kesulitan.

"Alfina, gue tau kenapa lo jadi kayak gini ke gue. Tapi, satu hal yang harus lo tau. Maafin gue karena gue pura - pura masih lupa tentang kenangan kecil kita. Maafin gue." Alfin tersenyum miris menatap Alfina yang saat ini jauh duduk dihadapanya dikantin sekolah ini.

---------------
"Mau bicara apaan?" Alfina sedang bersama Rio di lapangan sekolah. Lelaki itu mau melanjutkan pembicaraannya yang kemarin.

Rio menghela nafas, "Alfin, gue rasa dia udah ingat elo."

"Perasaan lo aja kali. Gue sih yakinnya dia udah lupa sama gue." Alfina cuek.

"Waktu itu gue ngga sengaja liat dia lagi mandang lo. Dan, tatapannya beda. Kayak tatapan kehilangan?" Rio menebak.

Alfina tertawa datar, "Udahlah Yo, gue udah males sama dia. Syukur kalau Alfin ingat gue tapi percuma aja gue udah lupain masa kecil gue yang.." Alfina menatap Rio yang sedang menunggu lanjutan bicaranya, "Gue mau ke kelas. Kalau lo ketemu gue buat bicarain tentang Alfin lagi, lebih baik lo ngga usah ketemu gue. Waktu gue terbuang sia - sia." Alfina tersenyum datar. Perempuan yang sudah menetapkan hatinya untuk melupakan Alfin itu benar - benar sudah berjalan meninggalkan Rio sendirian dilapangan.

Rio mengusap wajah dengan telapak tangannya, "Fin, maafin gue ngga bisa buat lo deket sama Alfina kayak dulu lagi. Walaupun hati gue sakit, tapi gue bahagia kalau liat dia sama lo Fin. Maaf Fin gue gagal jadi teman yang baik."

--------
"Ngelamun melulu lo, belajar yuk bentar lagi UN." Vian menyadarkan Devin yang sedari tadi hanya melihat komik tanpa membacanya.

Devin tersenyum datar, "Gue kangen Febby."

Gue juga, "Yaelah lo urusan cewek nanti aja abis UN. Sekarang belajar dulu ayooo!" Vian memaksa.

Devin menghela nafas, "Tapi-"

"Vin dengerin apa yang gue ucapin. Nih, orang tua lo udah susah payah kerja banting tulang buat biayain sekolah lo. Lo ngga tau seberapa sulit pekerjaan ayah lo. Lo ngga pernah tau karena lo cuma nikmatin hasilnya tanpa tau perjuangannya kayak gimana Vin. Dan sekarang tugas lo belajar Vin bukannya mikirin cewek yang bahkan ngga tau mikirin lo balik atau ngga!! Lo sekarang harus belajar yang bener dan bahagiain orang tua lo biar mereka bangga dengan jerih payah mereka kerja banting tulang. Vin lo anak tunggal, kalau ngga sama lo kedua orang tua lo mau dibahagiain sama siapa lagi?" Vian menasehati.

Devin menitikkan air mata, "Iya gue bakalan belajar yang rajin supaya orang tua gue bangga sama gue. Makasih bro, nasehat lo memang yang terbaik!" Devin memeluk Vian pelan.

Vian ikut mengeluarkan sebulir air dipelupuk matanya, "Iya sama - sama. Sekarang belajar ya lo!"

"Iya bos!" Devin tersenyum. Mereka melepaskan pelukan persahabatan mereka yang sama - sama merindukan Febby.

Vian tersenyum. Karena gue juga ngerasin gimana rindunya gue sama Febby Vin. Tapi rasanya kalau gue mikirin Febby terus yang ada nilai gue menurun dan hal itu pasti ngebuat kedua orang tua gue sedih. Jadi, lebih baik gue melupakan Febby dan mulai fokus belajar untuk UN supaya kedua orang tua gue bangga.

"Yaudah, perpus?" Devin mengajak Vian belajar di perpustakaan agar bisa belajar dengan guru yang sedang ada disana.

"Oke! Yuk" Vian merangkul bahu Devin.

Kedua lelaki yang sama - sama sedang dilanda kerinduan itu berusaha untuk melupakan, itu adalah jalan terbaik karena membanggakan kedua orang tua lebih penting dibandingkan memikirkan perempuan yang sedang berada dipikiran dan hati mereka.

---------
Hai. Maaf udah lama ngga update hehe. Mau kasih tau kalau sebentar lagi selesai. Ayey!! Jangan lupa baca ceritaku yang satu lagi yaaa! Bisa diliat di profil akuu judulnya History. Okay?? Sipdeh. 😘

Childhood MemoriesWhere stories live. Discover now