34

147 16 0
                                    

"Jadi jika program ini masih belum lancar juga kemungkinannya para Bunda harus sabar dan bertawakal-"

"Kenapa nonton acara itu mulu sih?"
Alfin yang ternyata sudah bangun sedari tadi membuat Alfina terkaget karena menonton acara tv yang tidak disukai suaminya.

"Kamu udah bangun? Sarapannya udah siap." Alfina tersenyum.

Alfin yang tadinya marah, tersenyum lalu berjalan memeluk Alfina untuk diajaknya pada meja makan.

"Anya bilang banyak bayi berusia satu tahunan menderita DBD." Ucap Alfina sembari mengambilkan nasi pada piring untuk suaminya.

Alfin menatap Alfina, "Lalu?"

"Aku kasian aja, pasti orang tuanya khawatir."

Alfin mengelus rambut istrinya, "Aku lebih khawatir kamu nonton acara tv itu setiap pagi."

"Sayang, aku kan cuma nonton."

"Dan ngelakuin diam - diam? Tanpa kamu tau aku tau Al, kamu ke dokter kandungan di RS kamu." Alfin menatap Alfina.

Alfina menunduk, "Maaf, aku ngga bilang kamu. Aku cuma pengen tau kenapa aku belum hami-"

"Ssstt," Alfin memeluk istrinya yang mulai menangis. "Udah aku bilangkan? Belum waktunya."

Alfina mengangguk.

"Hey lihat aku." Perintah Alfin pada Alfina.

Alfina yang berada pada pelukan Alfin menatap suaminya yang duduk dikursi disampingnya.

"Belum waktunya kita punya anak sayang. Ini hal yang aku syukuri, kita masih punya waktu berduaan dengan banyak. Jadi, ngga perlu kamu tonton acara itu ya. Kalau sudah waktunya, kita pasti punya anak kok." Alfin tersenyum.

Alfina mengangguk,

"Duh, lucu deh kalau liat kamu nangis gini." Alfin mencubit pipi Alfina.

"Sakit," Alfina mengelus pipinya.

Alfin mengecup kening istrinya, "Aku sayang kamu Al. Jangan diam - diam pergi tanpa izin aku."

Alfina mengangguk. Lalu tersenyum. Perempuan itu mencium hidung suaminya. "Aku juga sayang kamu banget. Heheh"

"Sarapan lagi yuk?" Ajak Alfin pada Alfina.

"Yuk, heheh"

----------
"Jadwal hari ini banyak juga ya." Ucap Alfina pada Anya.

"Iya dok, saya lumayan lelah. Kalau dokter bagaimana?" Tanya Anya pada Alfina.

Alfina tersenyum kikuk, "Saya tidak lelah fisik hanya saja saya lelah hati."

Anya tertawa, sudah hampir lima tahun bekerja sebagai asisten Dokter Alfina, baru kali ini ia mendengar Dokter Alfina 'curhat'.

"Kenapa kamu tertawa?" Tanya Alfina kebingungan.

Anya menggeleng, "Ngga dokter, Maaf memangnya ada apa dok?"

Alfina menatap Anya lama, "Saya ingin punya anak."

Anya menatap Alfina lalu tersenyum, "Dokter sudah cek kandungan?"

Alfina mengangguk, "Sudah, katanya saya baik - baik saja."

"Dokter cek sendirian?" Anya bertanya lagi.

"Iya,"

Anya duduk di hadapan Alfina, "Bagaimana dengan kondisi suami dokter?"

Alfina menunduk, "Saya belum sempat ajak dia cek ke dokter. Dia selalu berpikir positif bahwa dengan kami belum dikaruniai anak adalah sesuatu yang belum waktunya. Dan hanya tinggal menunggu waktu."

"Kalau boleh saya memberi saran, lebih baik dokter periksa bersama suami dokter." Anya tersenyum.

Alfina membuang nafas besar, "Iya saya akan coba ajak dia. Terimakasih Anya atas sarannya."

"Iya sama - sama dok."

-------------------

Aku kira setelah beribu cobaan yang menerpa aku dengan Alfin, akan berakhir setelah kami melewati masa - masa sulit itu dengan pernikahan yang menjadi ujung tombaknya.

Namun sayang, ternyata cobaan memang akan terus datang hingga akhir hayat. Walaupun aku sudah bersama Alfin, kami masih dirundung cobaan yang berat. Dan, bersyukurlah yang pasti kuncinya.

Tetapi, entah mengapa. Untuk kali ini rasanya aku sulit bersyukur. Tepatnya, aku kecewa. Sebagai seorang perempuan, sudah kewajibanku untuk memiliki seorang buah hati yang ku kandung dari rahimku sendiri.

Namun, sudah hampir empat tahun semenjak pernikahan kami. Aku belum dikaruniai anak hingga detik ini.

Aku iri, sungguh. Aku iri pada mereka yang memiliki keluarga dengan keturunan yang banyak. Dan aku juga cemburu pada mereka yang dengan mudahnya hamil padahal baru melahirkan satu tahun yang lalu.

Jujur, aku ingin memiliki anak.

Tetapi, aku selalu berpikir positif.
Mungkin Allah swt belum mengizinkanku untuk melahirkan karena rasanya yang menyakitkan.

Mungkin Allah swt belum memberikanku anak karena aku belum bisa merawatnya dengan baik.

Atau, atau dan masih banyak atau yang lainnya. Dan aku berusaha untuk berpikir positif.

Tapi yang aku sesalkan, aku hanya takut jika saja Alfin akan meninggalkanku karena aku belum bisa memberikannya keturunan. Tetapi buktinya, hingga detik ini lelaki itu masih saja berada disampingku.

Memelukku dari belakang jika aku sedang memasak, mencium keningku jika aku bangun tidur, dan memelukku pada dada bidangnya jika tidur.

Karena Alfin, kekuranganku menjadi sempurna dimatanya.

Karena Alfin, kenyataan pahit yang aku rasakan menjadi manis dengan ketenangannya.

Karena Alfin, aku bahagia. Tanpanya aku menderita.

Sungguh, aku menyayanginya setulus jiwa. Setulus hati suci anak kecil. Seperti hujan yang mencintai petir. Dan bagai akar yang mencintai tanah. Mereka bersama walaupun dalam kondisi yang berbeda.

Aku bahagia.

Alfina tersenyum dikala mentari yang mulai turun. Dengan hitungan detik, lelaki yang baru saja turun dari kursi kemudi melambai pada jendela lantai empat rumah sakit yang memunculkan seorang perempuan yang masih lengkap dengan jas putihnya.

Alfina menatap lelaki dibawah sana, Dan itulah orangnya. Lelaki istimewa yang sudah ditakdirkan Allah swt untukku. Alfin, aku bahagia karenamu.

---------------
Hai! Ngga mau basa basi heheh. Enjoy yaks.

Childhood MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang