Elfarga | Thirty Three

Start from the beginning
                                    

“Itu namanya nggak bisa,” ujar Farga datar. “kuncinya mana?” tanyanya.

“Ah! Bentar, Kak.” Felli merogoh saku celananya dan mengeluarkan satu kunci dari sana, lalu memberikannya kepada Farga.

“Karena lo nggak bisa pake sepeda, kayanya latihannya harus di tempat yang berumput.” Farga mulai menyalakan motor Felli dan memeriksa gass-nya.

“Berumput? Dimana ya, kak?” Felli belum terlalu tahu seluk beluk lingkungannya.

“Di Lapangan Bakti.”

Felli hanya mengangguk sebagai tanda persetujuan. Apapun sajalah, yang penting ia bisa latihan dengan baik dan benar hingga mahir menyetir motor. Dengan begitu, ia tidak akan kesusahan dalam urusan kendaraan. Ia tidak akan merepotkan Mark lagi. Namun ... bukankah ia merepotkan Farga karena hal ini?

“Sebelum itu, lo harus tahu gimana caranya narik gass. Pertama, tangan jangan kaku, rileks aja, biar bisa ngendaliin dengan mudah. Kedua, nariknya pelan-pelan, perlahan. Kalo langsung tarik kaya gini.” Farga menarik gass kuat-kuat hingga menimbulkan suara cukup keras. “Lo tahu sendiri ‘kan akibatnya? Paling masuk RS,” ucapnya lagi.

Felli bergidik ngeri, tetapi menyimak dengan baik apa yang Farga katakan.

Farga kemudian menaiki motor Felli dan membawanya keluar dari garasi.

“Gue yang nyetir sampai ke Lapangan Bakti,” kata Farga.

“Iya, kak. Aku kunci pintu dulu.”

Tidak ada hal lain yang menjadi bahan pembicaraan mereka disepanjang perjalanan. Farga memberikan penjelasan-penjelasan singkat yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan ketika menyetir motor—lengkap dengan nada bicaranya yang datar, tanpa nada, tanpa ekspresi pula. Felli kadang-kadang menanggapi seperti ...

‘Kalo misalnya tiba-tiba ada yang nyetop di depan, jadi kita nggak boleh pake rem depan?’

Dan Farga menjawab ...

‘Kalo mau terlempar, ya boleh aja. Tapi kalo mau selamat, pake rem belakang, lebih aman. Kalo kendaraan kalian udah mepet banget, bisa gunakan dua-duanya, tapi sekaligus dan pertahanin keseimbangan.’

Felli mengangguk paham, meskipun Farga tidak akan melihat anggukannya itu. ia tersenyum kagum. Benar kata Rini, Farga memang cerdas.


***

Suasana Lapangan Bakti mulai sepi. Anak-anak yang biasanya bermain bola disana ketika sore—sudah pulang, menyisakan beberapa orang saja yang entah sedang apa. Felli turun dari motor ketika Farga mematikan mesin motor. Mereka sama-sama mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan berakhir saling berpandangan.

Bisa membuat kesehatan jantungnya menurun, Felli buru-buru membuang pandangan.

“Di sini biasanya dipake buat latihan nyetir motor. Kalo jatuh, jatuhnya diatas rumput. Paling pegal.”

Diam-diam Felli menghela napas panjang. Kenapa sih, kakak kelas datar ini selalu meremehkan sesuatu. Namanya juga jatuh, ya pasti sakit. Tidak usah pakai kata ‘paling’.

“Sini naik!” Farga tiba-tiba menginterupsi. Ia sedikit memundur ke belakang, menyisakan ruang ditempat duduk bagian depan. Ia melepaskan tangannya dari setir motor—mempersilahkan Felli duduk di depannya, menggantikan posisinya untuk menyetir.

Sedikit ragu, Felli perlahan naik ke atas motor, duduk tepatnya di depan Farga dan cowok itu kini berada di belakangnya. Felli menelan ludahnya kasar dengan susah payah ketika Farga tiba-tiba memegang tangannya dan menuntunnya untuk memegang setir motor.

“Ingat, tariknya pelan-pelan,” ucap Farga tepat di sebelah wajah Felli. Lagi-lagi Felli hanya mengangguk pelan sekali.

“Kuatin kaki, gue bakalan naikin kaki gue.”

Perlahan, Farga menaikkan kakinya ke pijakan kaki, dan membiarkan Felli menopang sendiri bobot mereka dengan kedua kakinya. Farga tersenyum kecil ketika Felli dapat melakukannya.

Lama kelamaan, detak jantung Felli berdegup tak karuan, membuatnya hanya bisa menggigit bibir bagian dalamnya.

“Sekarang, tarik gass-nya pelan-pelan dalam hitungan ketiga.”

“Satu...”

“Dua...”

“Tiga..”

Felli perlahan menggerakkan tangannya—menarik gass hingga motornya melaju perlahan. Ia tetap berpijak di atas rumput, belum bisa menaikkan kakinya.

“Jangan terlalu lambat juga, nanti limbung.”

Felli sedikit meninggikan tarikan gass-nya—mengikuti intruksi Farga. Jujur, ia tidak takut sama sekali karena di belakangnya ada Farga. Ia merasa terlindungi dan aman.

“K—kaya gini, Kak?” tanya Felli.

“Hm.”

Felli merasakan darahnya berdesir, dan jantungnya melompat keluar ketika Farga tiba-tiba menaruh tangannya juga di atas setir motor untuk membantunya menggerakkan seperti membelok ke kanan atau ke kiri.

Bisa dibayangkan posisi mereka seperti apa?

Felli menelan ludahnya kasar.

“Tolongin gue ...”


TBC

MAAF BARU UPDATE, LAGI FOKUS KE CERITA SEBELAH HUHU.

VOTE DAN KOMEN YA!


ELFARGAWhere stories live. Discover now