Berapa lama kami akan tatap-tatapan seperti ini?

"sebagai catatan, bukan aku yang invite bbm dan bukan aku juga yang bbm. Apapun isi dari bbm itu, diluar tanggung jawab aku." Kalau dia kesini untuk mengungkit itu, bukannya sudah agak terlambat? Itu kejadian minggu kemarin. Aku tak mungkin menginvitenya setelah yang dilakukannya terakhir kali. Akan ku ingat hingga mati kalau dia pernah tak membalas bbmku.

Dia mengangguk.

"kamu bukan kesini buat bahas itu?" lalu untuk apa dia duduk berhadapan denganku seperti ini? "jadi, buat apa kamu kesini?"

Kemudian dia membuka tasnya. Mengeluarkan beberapa baju dan celana yang masih terbungkus rapi. Sekali lihat aku langsung tahu.

"ya tuhan." Nafasku tercekat. Begitu saja aku sudah merebutnya. Baju? Celana? Benar-benar. Cekatan, aku langsung menelpon. Tak lama, telponku langsung diangkat. Tanpa membiarkan orang yan diseberang bicara, aku langsung bicara.

"Naya. Kamu gila?!! Gak usah sok gak ngerti. Kamu sendiri yang bilang aku diputusin. Kamu hina aku selama di rumah karena ini?!! tunggu aja. Kamu gak bakal aku lepasin!" Aku memakinya beberapa kali sebelum dengan beringas menutup telp dan membanting hapeku ke dasar tas. Mendapati Garra yang terpatung memandangiku. "iya, panggilan buat dia emang nama salah satu penghuni kebun binatang. Dia gak mungkin manusia kalau berani ngelakuin ini."

Naya sialan. Hidupnya saja sudah menjadi aib bagiku dan kenapa dia harus menambah alasan agar kami bisa saling membunuh?

Ini alasan kenapa dia sangat kesal tahu aku dan Garra putus. Walau kenyataannya kami tak punya hubungan apapun tapi dia tak tahu itu dan Cuma tahu kalau kami sepertinya berakhir. Dia mengirimi baju pada Garra agar mempostingnya di IG. Anak itu benar-benar melakukan apapun untuk promosi. Dia pasti gila melihat follower Garra.

"dia bahkan minta aku ganti rugi." apa ini masuk akal?! Dia marah karena tak mungkin meminta baju-bajunya dikembalikan dan jelas merugi. Karena itu dia membully ku selama liburan. Dasar gadis sialan. Tunggu saja.

Terlalu emosi, aku sampai lupa ada Garra di depanku. Dia terbengong begitu saja melihatku mengoyak plastik bagus dari baju dan celana itu.

"Dia emang gila tapi aku gak nyangka dia udah segila ini." setelah tadi berusaha merobek pakaian itu, aku kembali memunggutnya, melipat dan menyusunnya dengan baik. "ambil aja. Begini-begini bajunya cukup keren. Kalau gak mau kamu bisa buang. Gak usah merasa gak enak."

Dengan begitu aku mengangsurkan tumpukan baju itu lagi kepadanya. Dia tak menerima jadi aku menaruh pakaian itu dipangkuannya.

"kamu bilang apa sama kakak kamu?"

Aku tak percaya kami akan membahas ini karena pada dasarnya tak ada yang perlu dibahas. Maka aku Cuma mengangkat bahu dan merobek sebungkus besar snack. Aku menawarkannya. Dia tak mengambilnya.

"kamu alergi udang?"

"huh?"

"Selama liburan kemaren, kamu gak pernah ikut makan kalau menunya udang." Bukan karena aku begitu perhatian tapi dengan dalih itu, Farhan selalu merasa perlu mengambil jatah double dan membaginya denganku. Ya, moment langka dimana aku dan Farhan bisa sepaham adalah dalam hal kuliner.

Cowok didepanku ini, tersenyum. Disaat aku menduganya punya penyakit?

"jadi, kamu bilang apa sama Naya?"

Disela-sela mengunyah snack aku menjawab. "gak ada. Aku bilang aja putus."

"dia gak nanya kenapa?"

Serius? ini Naya. "pasti. Setiap lihat muka aku dia bakal tanya ini itu. Abis itu dia bakal menghina aku habis-habisan. Tenang aja, diantara semua hinaan dia, dia gak hina kamu satu kalipun."

Sama seperti kasusku dengan Jedi, orang mungkin akan mengira kalau Jedi dan Garra adalah adik kandungnya alih-alih aku. Mama dan papa merasa perlu mengusir salah salah satu dari kami kalau Naya mulai mengomel dan aku yang Cuma diam menimpali sesekali agar api amarahnya semakin berkobar.

"didalam otak Naya, aku tuh manusia paling berbahaya dan dia manusia yang paling peduli sesama. Jadi dia merasa perlu melindungi semua orang dari aku." Begitu katanya. Aku mengutip ini dengan fasih karena ini kalimat favoritnya. Sungguh, anak itu pasti tak pernah masuk jam kewarganegaraan.

"kalau dia hubungi kamu, jangan pernah dibalas. Gak usah sok baik sama dia. Dia gak pantas dibaikin." Bila bertemu di jalan, tabrak aja sekalian.

Hah. Bisa kubayangkan muka Naya saat ditabrak. Akan kuserahkan semua hartaku untuk melihatnya. Jadi aku bisa mengungkit kejadian itu seumur hidupnya.

Garra tertawa.

"kamu pikir aku becanda? Aku serius. Benar-benar serius. kalau kamu tabrak Naya, sumpah aku gak bakal bilang siapapun." Tanganku terkepal penuh keseriusan tapi cowok itu malah makin tertawa. "apa yang lucu?"

"Mecca... Mecca..."

Disini aku, dibawah pohon beringin tinggi serta terkenal angker. Di pinggir danau yang katanya kalau malam benar-benar angker. Disaat matahari sore menyinari kami. Diantara para mahasiswa yang rata-rata duduk disini karena diperbudak wifi. Garra, cowok yang sebenarnya tak begitu kukenal. Kami Cuma bertemu dan berpisah. Bertemu dan berpisah disetiap momentnya yang cenderung menciptakan kenangan memalukan. Dia tiba-tiba tertawa disaat aku sedang memberinya saran hidup agar selamat.

Apa dia kesurupan? Semua hal disini bisa membuat orang kesurupan. Kemana Pimo tadi pergi? Pimoooo teman kamu sepertinya kesurupan.

"jadi, kamu gak merasa terganggu sama Nabillah?" tanyanya setelah reda tertawa. "aku udah berusaha jelasin kita gak ada apa-apa dan minta dia berhenti gangu kamu tapi kayaknya gak banyak berhasil. Dia tetap nerror kamu kan di sosmed?"

"dia berhenti kalau kalian balikan. Kenapa kamu gak balikan sama dia?"

"bukan itu yang aku tanya."

"tapi itu bisa menyelesaikan masalah." Apa coba yang kurang dari gadis itu sampai mereka tak bisa balik jadian?

"terus, kamu sendiri kenapa gak balikan sama Jedi?" mulutku berhenti dari mengunyah. Alisnya naik sebelah melihat perubahan ekspresiku. Aku berdecak dan dia kembali tertawa.

"aku sama Jedi itu udah selesai dan kita baik-baik aja. Gak kayak kamu. Kok bisa kamu suka sama dia?" well, anak itu memang cantik tapi tampang bukan segalanya. Masa tanda-tanda gilanya tak terlihat sama sekali sebelum pacaran?

"ya. Orang emang gak bisa dinilai dari tampang." Dia melihatku.

"kita lagi ngomongin nababil kan?" kenapa dia sepertinya mengejekku?

Dia mendengus tertawa. "nababil itu, nabillah?"

Untuk beberapa saat dia mendengarku memaki nabillah. Maksudku, dia sebaiknya tak membuatku menjadi korban. Meski aku tak menganggap anak itu serius, semua orang menganggapnya serius. Dia mungkin saja serius dengan semua ancaman itu.

"argh. kamu bikin aku gagal yoga."

***

That time when we're together (completed)Where stories live. Discover now