TIGA PULUH DELAPAN : Worst Night [2]

49.7K 6.7K 527
                                    

"Maksudnya?" tanya Gisel dengan suara bergetar. Walaupun ia sendiri sudah tahu jawabannya dan mengerti, tetapi ia hanya mencoba untuk memastikan.

Gisel tidak pernah seberharap ini pada sesuatu, berharap bahwa telinganya salah mendengar dan ucapan Hana hanyalah candaan semata.

"Kami mau cerai, Gisel," tegas Frans. Rahangnya mengeras, mencoba menahan emosi yang sama di antara ketiganya.

"Mama sama Papa sudah membicarakan ini sejak lama, penuh pertimbangan juga. Jadi Mama mohon, kamu baik-baik saja dengan keputusan ini."

Baik-baik saja? Gisel menautkan kedua alisnya ketika mendengar itu. Apa hati mereka sudah menciut karena kebanyakan berpikir soal pekerjaan?

Apa mereka sudah terlalu dingin hati hingga tak berpikir bahwa anak mereka bisa saja terpuruk hingga ke dasar dan tidak bisa bangkit lagi?

Gisel masih belum membuka mulutnya kembali, takut yang keluar malah isakan pilu sebagai bentuk rasa sedihnya yang tak terbendung sekarang. Air mata di pelupuk mata sudah menggenang, tak sabar untuk jatuh dan membasahi pipi.

"Papa jelasin karena kami sekarang memutuskan berpisah. Papa sayang kamu, tentu. Tapi memang dulu kami menikah karena perjodohan, sehingga kurang rasa antara kami berdua," jelas Frans dengan gurat lelah yang tercetak di wajahnya.

Bullshit, pikir Gisel. Jika mereka saja menikah tanpa adanya rasa cinta, bagaimana mungkin mereka menyayangi anak mereka sendiri?

"Kami nggak bermaksud jahat, hanya saja kami ingin memberitahu kamu secara langsung, Gisel." Hana menimpali, yang agak sedikit menyedihkan ketika mereka berbicara saling bersahutan.

Seolah bergantian mengalungkan sebuah ​beban lain yang tak terkira pedihnya.

Gisel memalingkan muka, lalu tak sadar memerhatikan sekitarnya. Pengunjung yang kebanyakan terdiri dari keluarga kecil itu terlihat bahagia,  berbanding terbalik dengan keadaan keluarga di mejanya sekarang.

Apakah Gisel tidak diperbolehkan mengecap sedikit saja kebahagiaan di dunia ini? Setelah Revano dulu berpaling kepada cewek lain, sahabatnya yang selalu ada memiliki perbedaan pada orientasinya, hingga keluarganya yang hancur berantakan.

Tangannya mencengkram rok kuat-kuat, menyalurkan rasa sakit dari hati maupun rasa sakit yang mendera kepalanya. Kalau yang harus terjadi memang seperti ini, apa Gisel memiliki pilihan untuk menghindar?

Dengan air mata yang mulai mengalir, Gisel tidak tahu lagi harus merasa bagaimana sekarang. Sedih, kesal, marah, bingung hingga benci. Semua rasa itu terlalu campur aduk hingga menyebabkan tubuhnya terasa lemas.

"Kamu nggak perlu khawatir, Gisel. Kami akan tetap ada buat kamu seperti biasanya," ungkap Hana, yang lagi-lagi membuat Gisel tersenyum tipis, dengan kesedihan di matanya.

Seperti biasa, bukankah itu berarti ia akan berakhir sendirian dan hanya bisa berangan-angan yang membuat rasa sakit menggerogoti perasannya?

"Kami juga akan ngasih kamu uang yang banyak setiap bulannya, jadi kamu nggak perlu khawat-"

Ucapan Frans segera dipotong Gisel yang menggeleng lemah. "Cukup."

Gisel memandang nanar kedua orang tuanya, berharap mereka hanya bercanda sebagai bentuk kejutan. Tetapi sayangnya ulang tahunnya masih tiga bulan lagi, sehingga tentu saja itu tidak mungkin.

"Hebat ya kalian. Akan tetap seperti biasanya? Itu berarti aku diabaikan lagi. Akan ngasih uang yang banyak? Apa kalian pikir kalo aku cuma butuh uang? Enggak!

"Jarang pulang, jarang ada di rumah, jarang ngehubungin buat sekadar nanya kabar. Ajak makam malam dan tiba-tiba beritahu kalau kalian mau cerai, hebat!"

StraightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang