EMPAT : Gisela Dewi Anggraeni

83.5K 8.8K 113
                                    

Gisel memeluk boneka​ raksasanya dengan erat, enggan untuk memakan makanan yang sudah dibuat oleh asisten rumah tangga yang bekerja di rumah besarnya itu.

"Non, dimakan dong nasinya. Kalo nggak nanti sakit lagi loh."

Gisel mendesah. "Saya lagi nggak mau makan Bi."

Gisel memandang kursi di meja makan yang kosong, hanya ada dia di sana. Orang tuanya kemarin sudah berjanji untuk pulang dan sarapan bersama, tetapi ternyata itu hanya bualan saja. Sampai sekarangpun tidak ada tanda-tanda apakah mereka akan pulang, memberitahu lewat telepon saja tidak.

Sungguh, Gisel kecewa berat. Harapannya akan sarapan normal seperti keluarga biasa hilang sudah. Apakah keinginannya terlalu sulit untuk dilaksanakan?

"Nanti aku makan, bibi ke dapur lagi aja."

Gisel kembali mendesah, mendekap bonekanya​yang empuk lebih erat. Mencoba merasakan kehangatan di sana, mencoba membayangkan bahwa orang tuanya lah yang kini memeluknya. Tetapi imajinasi Gisel mungkin terlampau tinggi, ia gagal dan tetap merasakan kesepian.

Gisel mengerjapkan matanya berulang kali karena terasa perih dan memanas, ia tidak menyukai hal ini.

Ia memang lemah, tetapi ia masih harus mempunyai semangat untuk melanjutkan hari-harinya.

Setidaknya ia memiliki tekad terakhir mengenai Mario dan Luna, sahabatnya.

Mereka memang tidak 'lurus', tetapi Gisel menyayangi keduanya apa adanya. Menyayangi Mario yang cerewet dan perhatian, lalu Luna yang sering bersikap​ cuek tetapi sangat peduli kepada kedua sahabatnya.

Gisel akhirnya makan walaupun malas-malasan. Sebenarnya ia ingin cepat-cepat ke sekolah, tetapi rasanya sesendok lagi makanan akan membuat Gisel muntah.

Jadi​, ia memutuskan untuk berangkat ke sekolah dengan keadaan lemas dan banyak pikiran.

***

Gisel hampir saja mendengus keras ketika melihat Mario yang turun dari mobil Revano di parkiran, pasti mereka sudah mengobrol dan menjadi lebih akrab.

Kalau saja ia berani mungkin Revano sudah didatanginya dan melarang cowok itu untuk dekat-dekat dengan Mario, tetapi masalahnya ia tidak berani.

"Mario!"

Mario berbalik dan tampak mengernyit tidak suka. "Ngapain tadi lo lari-lari? Kalo sakit terus pingsan gimana? Ck."

Mario merangkul Gisel dan kembali berjalan beriringan menuju kelas mereka.

"Lo tadi uhukk berangkat sama Revano ya​?"

"Yoi."

Gisel mendesah. "Mar, jauhin si Revano deh."

"Nggak, gue baru jadian sama dia kok lo nyuruh jauhan. Kan aneh."

"Lo emang aneh Mario Adiwijaya."

"Makasih." Mario mengacak rambut Gisel, tidak memedulikan bagaimana orang yang dirangkulnya itu cemberut tidak suka.

"Buset dah! Pagi-pagi gini udah bikin kaget." Luna yang mengejutkan Mario dan Gisel dengan menepuk pundaknya keras hanya terkekeh.

"Pagi. Tumben rambut lo digerai gitu, biasanya kan diiket." Luna mengangkat bahunya. "Tadi buru-buru."

Mario merangkul Luna sehingga ia berada ditengah-tengah. Luna di sisi kiri dan Gisel di sisi kanan.

Hal itu membuat beberapa siswa​ meledek mereka, tetapi ketiganya tidak terlalu peduli karena sudah terbiasa. Lagipula pemandangan seperti itu sudah biasa di SMA Aditama.

"Eh hari ini ada pr nggak?" celetuk Gisel.

"Yaelah, baru juga masuk udah ngingetin begituan. Mumet ini otak," balas Mario cepat.

"Eh anjir ada, dua soal fisika."

Gisel dan Mario kompak menoleh ke arah Luna. "Yakin lo?"

"Yakin."

"Kalo gitu kudu buru-buru ke kelas, biar bisa nyontek ke yang lain," seru Mario yang berakhir dengan kekehan lucu.

"Yaudah, balap ya ke sana." Luna melepaskan rangkulan Mario di tangannya lalu melesat pergi dengan cepat.

"Ih Luna kebiasaan. Eh Mar, lo nggak bakalan lari terus ninggalin gue kan?" Gisel merengek seperti anak kecil.

"Nggak, santai aja."

***

Telinga Gisel panas, bukan karena ia sedang dibicarakan oleh orang lain. Tetapi pembicaraan Mario dan Luna membuat telinganya seakan sakit.

Mereka heboh membahas tentang Revano, mencoba menebak-nebak bagaimana dia bisa mengetahui bahwa Mario juga sama sepertinya. Atau mencoba menebak bagaimana interaksi Mario dan Revano ke depannya.

"Obrolannya bisa ganti topik nggak sih?" Gisel mencebik tidak suka, lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kantin. Di bangku dekat lapangan terlihat seseorang yang tertawa, hal itu berhasil membuat Gisel menggigiti sedotan minumannya.

"Suka-suka gue lah. Eh, lo ngeliatin si Kevan lagi?" Gisel menoleh dan menggeleng. "Eh nggak."

"Alah jangan boong, jujur aja sama kita. Iya nggak?" Luna menyenggol tangan Mario, sehingga membuat si empunya mengangguk. "Yoi."

"Iya deh gue ngaku, dia ganteng banget hari ini."

"Masih gantengan Revano," celetuk Mario yang sukses membuat Gisel menjitak kepalanya keras. "Tapi Kevan normal, jadi kadar kegantengannya berlipat-lipat!"

Mario berdecak. "Terserah lo aja lah."

"Tapi lo pernah ngomong sama dia nggak?" tanya Luna setelah menyeruput teh apelnya.

"Nggak pernah sih, paling kalo ketemu cuma saling balas senyum."

"Ck ck ck, kasian amat."

"Diem Mario," sengit Luna yang kini memerhatikan Kevan lebih saksama.

"Kenapa lo nggak coba ajak ngobrol aja? Dia kayaknya ramah kok."

"Nggak berani gue."

"Kalo gitu lo kasih kayak ala-ala secret admirer gitu, ngasih bekal makan siang kek, atau minuman dingin ke loker dia apa kek," usul Mario.

"Iya juga ya," gumam Gisel yang merasa usulan​ Mario ada benarnya.

"Mau nyoba? Gue bantuin deh nanti." Luna mengangguk merespon ucapan Mario.

Gisel hanya tersenyum. Baiklah, rasanya menjadi pengagum rahasia seperti itu tidak ada salahnya. Mungkin ia akan mencoba mulai besok.

***

StraightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang