DUA PULUH SATU : Menjenguk Gisel [2]

54.6K 6.4K 111
                                    

"Mmm ... gue ganggu ya, Sel?"

Kevan meringis, merasa bersalah karena sepertinya Gisel enggan bertemu dengannya. Cewek itu masih menutupi wajah dengan selimut yang ia pakai, dan keadaan masih hening.

Diam-diam Kevan merutuki sikap Mario yang memilih meninggalkan mereka berdua, padahal cowok itu bisa saja membuat suasana menjadi lebih menyenangkan akibat celotehannya.

Gisel menurunkan sedikit selimut, melirik Kevan yang masih setia berdiri dengan sikap kaku.

"Eng-enggak kok," balas Gisel akhirnya. Terdengar pelan, lirih dan bergetar. Selain karena ia merasa sesak akibat tadi wajahnya ditutup, perasaan gugup juga memengaruhi suaranya sekarang.

"Serius gue nggak ganggu? Siapa tau lo mau istirahat lagi."

Kevan memberanikan diri untuk melangkahkan kaki mendekati tempat tidur, tetap berdiri dengan mata yang tertuju pada Gisel.

"Ng-nggak kok." Gisel akhirnya menurunkan selimutnya hingga ke batas dagu. Wajah Gisel merah padam, untung saja Kevan menyangka bahwa wajah Gisel seperti itu karena sakit, bukan karena perasaan malu.

"Lo jadi sakit karena gue ngajak lo jalan kemarin ya? Eh, gue boleh kan duduk di sini?" tanya Kevan.

Jujur, saat ini Kevan merasa sangat bersalah. Dari pagi hari saat Luna dan Mario memberitahu bahwa Gisel tidak datang ke sekolah karena sakit, ia langsung menyalahkan diri sendiri. Mengapa kemarin mereka tidak langsung pulang saja sejak Gisel batuk-batuk? Kevan seharusnya menyadari hal itu.

Setelah dari toko buku pun keduanya tidak langsung pulang, tetapi makan dulu di salah satu kafe yang berderet-deret. Gisel bahkan memesan es krim.

Gisel menggeleng, masih dengan wajah semerah tomat. "Nggak, gue emang gampang sakit. Duduk aja, Van."

"Tapi kemarin pasti jadi penyebab lo sakit sekarang, Sel. Sorry ya, gara-gara gue ngajak lo jalan buat nemenin beli buku lo jadi harus sakit begini."

Gisel menggeleng lagi. Ia memang sering sakit, mungkin dalam kelas atau bahkan satu angkatan Gisel adalah siswa yang paling sering tidak hadir.

Lagipula, kejadian kemarin mulai dari toko buku hingga Kevan menemaninya menunggu supir menjemput adalah salah satu hari yang paling membahagiakan dalam hidupnya. Jadi ketika melihat Kevan merasa bersalah dengan air muka layu membuat Gisel tidak tega.

"Nggak papa, Kevan. Serius, jangan ngerasa bersalah gitu."

Kevan menyunggingkan senyum, walaupun terlihat terpaksa dan mencapai matanya. Tetapi yang penting, suasa hatinya tidak sekelam tadi.

"Oke," ucap Kevan.

Gisel mati-matian menahan senyumnya agar tidak terlihat selebar mungkin, jadi ia hanya tersenyum tipis saja.

"Lo ... sama Mario ke sini?" tanya Gisel, mencoba keluar dari suasana kikuk yang seakan mencekik leher kuat-kuat.

"Iya, gue nggak tau rumah lo. Kemarin kan lo malah dijemput."

"Kan gue nggak mau kemarin lo pulang malem karena harus nganterin gue dulu."

Suara Gisel serak, tetapi masih layak didengar. Tidak seperti nyanyian asal Mario yang bahkan bisa membuat mayat lari terbirit-birit saking 'merdu'-nya.

"Mmm ... Sel, lo mau istirahat lagi? Gue nggak enak dateng kayak gini terus ngeganggu."

"Duh nggak Kevan ganteng, kehadiran kamu di sini malah jadi penyemangat aku."

"Nggak kok, Van. Santai aja, cuma demam biasa kok."

Gisel menyunggingkan senyum yang cukup meyakinkan, membuat Kevan mengangguk.

StraightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang