TIGA BELAS : Akhir Pekan

61.7K 7.1K 385
                                    

"Minggir." Luna mendengus dan berusaha berlalu tetapi langkahnya lagi-lagi dicegat oleh seorang perempuan berwajah manis yang kini tampak pucat, tangannya terulur untuk menggoyang-goyangkan tangan Luna.

"Luna please, gue nggak mau putus. Apa sih salah gue ke elo?" Luna menepis tangan Agnes dan menatapnya datar. Rasa suka yang dulu pernah ia rasakan menguap seketika.

"Lo emang nggak salah, tapi gue udah ngerasa nggak nyaman. Gue pengen bebas."

Agnes menggeleng. "Emangnya gue suka ngekang lo Na? Nggak kan? Jadi kenapa lo ngerasa nggak bebas sama gue?"

Luna berdecak. "Duh Agnes. Dengerin gue ya, nggak ada alasan lagi buat mertahanin hubungan ini. Gue pengen sendiri aja, titik. Nggak bisa diganggu gugat."

"Tapi Na."

"Agnes, sekarang mending kita urus masalah masing-masing aja. Oke? Kita masih bisa jadi temen."

Luna melangkah dan meninggalkan Agnes yang masih mematung dengan tatapan memelas, tetapi tangannya terkepal menahan emosi.

Luna membenarkan ikatan rambutnya, ia berbelok di koridor dan bertemu dengan Raja yang tengah membawa bola voli menuju lapangan.

"Hai Na." Luna menoleh dengan wajah datarnya yang sering diartikan sebagai ekspresi risi dan tak suka cewek​ itu terhadap orang lain, padahal bukan itu yang terjadi. Luna tidak sejutek itu, hanya wajahnya yang dingin saja yang membuat beberapa orang salah paham.

Pertama kali bertemu dengan Luna kalian mungkin akan mengiranya sebagai gadis sombong dan arogan. Tetapi pandangan itu akan berubah jika sudah mengenalnya, Luna orang yang cukup hangat apalagi kepada teman yang sudah dekat.

"Hai," balas Luna.

"Emm ... soal besok gue udah nentuin waktunya. Jam sembilan nggak papa kan? Nggak kepagian?"

Luna menggeleng. "Nggak papa, jam delapan pun gue ayo-ayo aja."

Raja nyengir. "Emang jam segitu cewek udah dandan?"

Luna mengernyit, tidak mengerti. "Maksud lo?"

"Biasanya kan cewek kalo mau jalan harus dandan dulu. Nah tempat yang besok bakal kita datangin itu nggak cocok buat cewek dandan, tapi gue yakin lo suka kok."

"Gue nggak pernah dandan."

"Iya sih keliatan, padahal lo cantik Na." Luna memutar bola matanya malas. Laki-laki dan segala bualannya.

"Emang besok kita mau ke mana?"

"Liat aja besok."

"Oke."

"Gue duluan ya Na, mau ke lapangan."

"Iya."

Luna berjalan kembali menuju kelasnya. Meskipun tak lama kemudian ada seseorang yang memeluknya dari belakang, refleks ia berbalik dan menampar​ orang itu.

"Aw! Luna ih!" Luna mengembuskan napas pelan dan berkacak pinggang. "Lo ngapain peluk-peluk gue di sekolah sih? Kalo yang lain salah paham gimana?"

Mario cemberut dan mengusap-usap pipinya yang terasa sakit. "Kok ditampar sih? Sakit woy. Lagian nggak papa lah kalo gue meluk lo, yang lain kan nggak bakalan nyangka kita belok."

Luna menjitak kepala Mario cukup keras, hingga membuat cowok itu kembali mengaduh kesakitan. "Nggak gitu juga bego."

"Tapi pengen meluk lo, enak tau ada lekukannya."

Luna melotot dan memukul lengan Mario. "Sejak kapan lo jadi bangsat begini sih?!"

Mario berdecak. "KDPB! Kekerasan dalam persahabatan!" keluhnya.

StraightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang