• Artha #30 •

Mulai dari awal
                                    

"Nih, kayaknya lo kepedesan banget."

Sherin meminumnya sedikit. "Makasih."

"Sama-sama."

Sherin berdeham, menyelipkan anak rambut di telinga dan menatap Arthur dengan mata menyipit. "Kita pernah ketemu?" tanyanya.

Arthur mengangguk, melipat tangan di dada. "Kita pernah ngobrol malah."

"Oh iya gue inget. Lo yang ngajak buat ngerusakin hubungan Agatha sama Arkan, kan?"

Arthur mengernyit, sepertinya kata merusak terlalu berlebih-lebihan​. Lagipula, Arkan dan Agatha belum jadian. Sehingga Arthur rasanya masih bisa melakukan usaha untuk menarik perhatian Agatha. Bukan begitu?

"Gue nggak ada maksud ngerusak hubungan mereka," bantah Arthur.

"Intinya lo minta bikin mereka ngejauh."

"Terserah lo aja. Nama lo Sherin, kan?"

Sherin mengangguk. "Lo Arthur?"

"Yap."

Sherin mengangguk-angguk, lalu memilih melanjutkan acara makannya karena perut Sherin berbunyi.

Diam-diam Arthur menarik seulas senyum, karena tiba-tiba saja ia merasa tertarik kepada Sherin.

Cewek itu cantik, hanya saja kulitnya yang putih pucat tampak mengkhawatirkan.

Arthur mengembuskan napas berat, melihat Arkan dan Agatha sekilas. Mulai bertanya-tanya dalam hatinya yang paling dalam.

Apakah Sherin orang yang tepat untuk membuatnya move on dari Agatha?

***

"Arkan, pulang sekolah nanti gue ikut ke rumah lo ya?"

Arkan yang sedang menggigit tempenya menaikkan kedua alis, bingung mengapa Agatha tiba-tiba mengatakan hal seperti itu.

"Ngapain lo ikut ke rumah gue?"

"Eh? Tante Lalisa alias nyokap lo belum bilang ya?"

Arkan menggeleng, kini keningnya bergelombang seperti jalan yang banyak polisi tidurnya.

"Gue sama Tante Lalisa mau masak bareng, ini udah direncanain dari malem kemarin. Nyokap lo aja udah ngasih lampu ijo loh."

Agatha meringis ketika keceplosan kalimat terakhir. Tetapi Arkan terlihat mengabaikannya, dasar kaum adam yang kurang peka.

"Jangan bohong."

Agatha mencebik, mengeluarkan ponsel dari saku seragamnya. Ponsel Agatha yang termasuk tipe jadul alias jaman dulu membuat Arkan menggigit bibir bawahnya.

"Nih liat!" Agatha menunjukkan percakapan dengan Lalisa di aplikasi perpesanan berbasis internet, Arkan mendengus melihatnya. Ternyata Lalisa dan Agatha sudah akrab.

"Oh," balas Arkan ketus.

"Jadi, nanti gue bakal ke rumah lo."

"Gue nggak bego, nggak usah ngomong berkali-kali begitu."

"Hehe. Soalnya gue antusias banget, nyokap lo baik banget soalnya."

"Emang."

"Cuma gue takut sama bokap lo tau." Agatha menunduk, menusuk kol dalam piring batagornya, "dia itu nyeremin."

"Gue aja kadang takut sama bokap," ungkap Arkan.

"Arkan, kayaknya lo punya mulut pedes turunan bokap lo ya?" tanya Agatha kemudian.

Arkan mengangkat bahu. "Mungkin. Tapi pas kecil gue emang disuruh bokap begitu."

"Maksudnya?"

"Gue nggak bakat adu fisik, jadi pas kecil gue selalu di-bully sama anak-anak kompleks, untungnya gue punya kembaran kayak Aland. Meski kadang dia emang nyebelin mampus, tapi pas itu dia tinju satu-satu anak yang ganggu gue.

"Bokap bilang, kalo gue nggak bisa ngelawan kayak cara yang Aland lakuin, bales aja pake omongan. Soalnya omongan kadang-kadang emang lebih bikin sakit daripada tonjokan di pipi."

Agatha mengangguk, mengerti mengapa Arkan mulutnya seperti sekarang ini. "Terus? Berarti bokap lo baik?"

Arkan memutar bola matanya malas. "Bokap gue emang baik. Lo mau denger satu cerita pas gue masih SMP?"

Agatha mengangguk-angguk antusias, menopang dagu dan menatap Arkan dengan mata berbinar. "Ceritain," pintanya.

"Pas gue SMP, gue lagi-lagi di-bully karena punya wajah yang kata mereka terlalu cantik jadi cowok. Gue dihina, dilemparin telur, ditonjok sama ditendang-tendang. Aland jelas murka, dia bales apa yang mereka lakuin ke gue.

"Tapi bokap punya cara sendiri. Lo tau apa? Orang yang nge-bully gue dikeluarin dari sekolah, dan dia bikin semua sekolah nolak mereka jadi murid walaupun udah nyogok sampe puluhan juta.

"Dan satu-satunya cara biar mau ada yang nerima mereka, mereka harus minta maaf secara tulus ke gue. Gue inget mereka sampe mohon-mohon, dan gue liat bokap senyumnya sinis banget pas itu."

"Jadi cara nunjukin kasih sayang dia itu beda ya."

Arkan mengangguk. "Gue juga gitu."

Agatha hampir berteriak histeris ketika Arkan tersenyum penuh arti, cowok itu memandanginya lurus-lurus.

Bisa nggak sih jangan bikin gue baper terus?! jerit Agatha dalam hati.

***

Menurut kalian, cara Arkan itu gemes-gemes pengen gampar atau wajar aja?

Btw, promosi dikit nih. My Possessive Bad Boy sudah tersedia di beberapa Gramedia dan toko buku lainnya, untuk lebih jelasnya kalian bisa tanyakan ke Line atau Instagram saya.

Doain kembar Alano bisa nyusul bapaknya ya hwhw.

Ok, see you.

Artha (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang