• Artha #27 •

Start from the beginning
                                    

"Kok nggak, sih?" Agatha tidak mengerti. Padahal ia sudah memberitahu perasaannya yang sebenarnya tidak ingin ia umbar kepada siapapun, mengapa Sheila belum puas juga?

"Kan kakak belum jadian sama Kak Arkan."

Kayak ada pait-paitnya gitu ya.

"Emangnya kalo gue ataupun gue sama Arkan saling suka, harus jadian gitu?"

Ya harus lah, jerit Agatha dalam hati. Munafik memang. Di mulut berkata ini, hati berkata lain.

Sheila memiringkan kepalanya. "Emang kakak mau digantung? Cewek kan butuh status. Kalo misalnya Kak Arkan baik terus tapi ujung-ujungnya sama cewek lain gimana?"

Agatha mengernyit. Sheila ini memang polos-polos minta digampar ya?

"Ya nggak mau lah!"

Sheila terkekeh. "Makanya kakak kasih kode aja."

Kode? Memangnya Arkan detektif sampai harus ia berikan kode?

Tetapi demi Arkan, Agatha jadi penasaran apa saran dari Sheila.

"Kode gimana?"

"Gini aja, kakak bilang kalo ada yang suka kakak dan dia nembak, terus minta pendapat deh ke Kak Arkan. Liat reaksi dia kayak gimana."

Agatha mengangguk-ngangguk, boleh juga.

Ia kemudian berdiri, memakai sepatunya dan berjalan keluar dari ruang duduk. Celingak-celinguk mencari Arkan, Agatha menyelipkan anak rambutnya di telinga. Sempat tersenyum kikuk ketika berpapasan dengan Samudra.

"Kamu temannya Arkan?" tanyanya.

Duh, nanya gini doang aja nyeremin, keluh Agatha dalam hati.

"I-iya, Om."

Samudra menyipit, pandangannya menyelidik. Juga tampak menilai, jelas tidak suka gara-gara ia sering melanggar peraturan di sekolah.

Samudra mengangguk, lalu melangkah pergi.

Agatha mengelus dada untuk meredam debaran jantung yang menggila. Samudra memang benar-benar menyeramkan.

Lalu bagaimana jika ia beneran berpacaran dengan Arkan ya?

Eh?

Agatha melanjutkan langkahnya kembali, bingung karena ia belum menemukan Arkan. Padahal cowok itu kan mencolok bila diam bersama yang lain karena wajahnya yang cenderung cantik.

Kemudian, Agatha melihat Arkan yang sedang berjongkok di depan kulkas yang terbuka, tampak bingung memilih berbagai jenis cokelat milik Lalisa. Agatha dengan langkah yang diusahakan tidak bersuara mendekati cowok itu, menepuk pundak Arkan dengan tujuan membuatnya kaget.

"Dor!"

Arkan terkesiap, lalu terjengkang ke belakang saking terkejutnya.

"Lo ngapain sih?!" keluh cowok itu dengan mata melotot, hidung kembang kempis, lalu bibir yang mencebik.

"Gak lucu!"

Agatha mendengus, menatap Arkan dengan sedikit menyipit. Kenapa Arkan begitu galak? Kan jadi ingin cium. Eh.

"Jangan galak-galak gitu dong, nyeremin tau. Lama-lama jadi kayak Om Samudra loh."

"Dasar gak jelas," cibir Arkan. Ia kembali berjongkok dan mengambil satu cokelat kacang.

"Minta dong."

Arkan yang sudah berdiri kembali mendelik, tetapi mengambil cokelat satu lagi dan memberikannya kepada Agatha.

"Makasih." Agatha tersenyum senang. Setidaknya walaupun Arkan memiliki mulut pedas ceplas-ceplos yang kadang menyakitkan hati, dia masih menuruti apa yang ia inginkan.

Lagipula tentu saja Arkan harus begitu, kan dia yang mengundang Agatha untuk ikut di acara keluarga Alano itu.

"Pesta barbeque-nya itu mau dimulai kapan?" tanya Agatha sembari menggigit cokelatnya, sensasi sesuatu yang meleleh di mulut membuat Agatha menarik ujung bibir hingga ke atas.

"Bentar lagi."

Agatha diam, menimang-nimang apakah ia perlu melakukan apa yang Sheila sarankan.

Bagaimana kalau Arkan bereaksi biasa saja? Atau malah justru meminta ia jadian dengan cowok yang Agatha karang sendiri?

"Arkan."

Arkan hanya berdeham sebagai respon.

"Gue mau minta pendapat lo nih."

"Apaan?" balas Arkan. Hatinya tiba-tiba tidak enak, seolah tahu akan ada suatu hal yang terjadi.

"Kan ada satu cowok nih. Anak basket, kulit putih terus cakep gitu di SMA sebelah. Nah dia naksir gue, terus nembak gue kemarin."

"Ternyata ada juga cowok yang suka sama lo."

Tuh kan, Arkan tidak bisa menahan diri untuk mencibir orang lain.

"Menurut lo, dia kan nembak, mending gue... terima atau tolak?"

Agatha tak sadar menggigit bibir bawahnya karena gugup.

"Ya tolak lah!" seru Arkan lantang. Ngegas.

Agatha menoleh dengan alis tertaut. Mengapa Arkan harus memberikan pendapatnya untuk menolak saja?

Apakah boleh ia baper sekarang?

Duh, Arkan. Aku padamu.

***

Artha (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now