= EMPAT PULUH =

7.8K 363 4
                                    

— Before I Know Him —

***

Jari tangan Akmal tidak berhenti menari di atas keyboard dan mengetikkan berbagai kata dalam chattingnya dengan Mira. Namun, kata yang paling sering tertulis adalah 'maaf', 'tolong balas', atau bahkan 'biarkan aku bertemu kamu untuk menjelaskan semuanya'. Tapi, sebanyak apapun Akmal mengirim pesan tersebut, tidak ada satu pun pesannya yang dibaca oleh Mira. Semua pesannya diabaikan.

Merasa tidak ditanggapi dengan pesan, Akmal mencoba untuk menelepon Mira langsung. Tersambung, hanya saja tidak ada yang mengangkat. Selalu saja si Mbak Operator yang menjawabnya dengan kata-kata '... nomor yang Anda hubungi tidak menjawab..'. Akmal memejamkan mata dan menarik napas lalu menghembuskan keras.

"Please... Mir, tolong jawab sekali aja..." Gumam Akmal.

Lagi.

Akmal hanya berbicara pada pihak operator. Bahkan kali ini panggilannya masuk voicemail. Biarpun masuk voicemail, Akmal tetap memanfaatkannya untuk menyampaikan pesan meskipun durasi voicemail terbatas.

"Ini aku, Akmal. Tolong angkat teleponnya, Mir. Aku akan menjelaskan semuanya sama kamu. Nggak bakalan ada lagi kebohongan seperti yang dulu-dulu. Please... kita harus bicara..."

Durasi voicemail telah habis. Akmal mendesah kecewa. Ia pun menghubungi nomor ponsel Mira sekali lagi dan masuk layanan voicemail. Akmal lagi-lagi berucap dalam voicemail.

"Aku tahu aku salah. Tapi, tolong dengerin penjelasanku. Kita harus bertemu dan aku baru bisa jelasin semuanya. Sekalipun kamu menolak teleponku, aku akan tetap menghubungi kamu terus dan terus."

Voicemail berakhir.

Dengan tangan gemetar, Akmal menurunkan gagang ponsel. Ponselnya terasa panas dan baterainya juga sudah menunjukkan berada pada tingkat 10%. Strip tanda baterai yang awalnya berwarna hijau juga telah berganti merah. Jika sekali lagi Akmal mencoba menelepon Mira, makan akan membebani CPU ponsel dan memungkinkan membuat ponsel pintarnya lebih cepat mati daripada sekedar low batt. Akhirnya, ia memilih untuk mengakhiri usahanya menghubungi Mira dan menaruh ponselnya di atas nakas samping tempat tidur.

Saat menaruh ponsel, ia melihat sebuah bingkai foto yang terpajang di sebelahnya. Dalam frame ukuran 4R tersebut ada fotonya dan Mira yang saling memeluk dan tertawa riang. Akmal ingat sekali kapan foto tersebut diambil. Kala itu adalah hari dimana mereka untuk pertama kalinya jalan-jalan ke luar kota dan mengunjungi Wisata Gunung Bromo untuk menikmati sunrise yang terkenal indah. Foto tersebut diambil tepat saat mereka akan bersiap-siap pulang kembali ke Surabaya. Saat itu, Akmal juga ingat sekali bahwa Mira sangat bahagia karena bisa menikmati sunrise dengan orang terkasih.

Akmal tersenyum kecut. Ia merindukan senyuman dan tawa riang Mira yang lepas seperti dalam foto. Namun, ia juga teringat dengan jelas bagaimana siang tadi Mira marah dengan hebat dan menyampaikan rasa bencinya pada Akmal dan Juni. Ia memejamkan mata dan juga mengingat bagaimana tadi Juni yang menangis penuh luka.

"Maaf telah menyakiti kamu. Maaf telah membohongi kamu. Tapi, jika kamu ingin menyalahkan, jangan salahkan Juni. Semuanya adalah salahku, Mir." Ucap Akmal sendu. Hingga tanpa sadar bulir air mata telah menuruni pipinya. Setetes air mata jatuh tepat di atas permukaan foto yang Akmal pegang.

Dalam gelapnya malam yang mengitari kamar Akmal, lelaki itu tidak menyadari bahwa sedari tadi Juni ikut mengamati aktivitasnya. Juni juga mendengar semua voicemail yang diucapkan oleh Akmal. Juni menyadari setiap ucapan Akmal dalam voicemail tersebut adalah ucapan yang jujur dan tulus. Begitu juga dengan ucapan Akmal pada bingkai foto yang sedang dipegangnya.

JUNIWhere stories live. Discover now