= TIGA PULUH DELAPAN =

Mulai dari awal
                                    

"M-Mira..." Gumam lirih Juni sambil sesegukan.

"Kenapa, Jun?! KENAPA??!!!" Teriak Mira dengan air mata yang mengalir deras.

"M-Maaf... hiks... m-maaf..." Juni bergumam sambil menunduk. Ia merasa tidak pantas untuk menatap wajah Mira. Juni merasa bagaikan orang rendahan yang tidak berhak berkontak mata dengan Mira.

"Kamu sahabatku lho, Jun! Aku udah menganggap kamu layaknya saudara sendiri! T-Tapi kamu tega banget nusuk aku dari belakang kayak gini! Kalian berdua sumpah tega banget!" Seru Mira sambil melirik Akmal sekilas.

"Mira, Juni nggak salah apa-apa. Kamu dengerin penjelasanku dulu!" Akmal mencoba meraih pergelangan tangan Mira.

"JANGAN SENTUH AKU!! NGGAK SUDI TANGANKU KAMU SENTUH! BAJINGAN KAYAK KAMU NGGAK PANTAS SENTUH TANGANKU!!" Mira kembali berteriak. Kali ini ia juga melindungi tangannya sendiri.

Akmal yang seperti sedang kehabisan kesabaran, juga ikut meluapkan amarahnya. "IYAA! AKU EMANG BRENGSEK! AKU EMANG BAJINGAN!! TAPI TOLONG DENGERIN DULU PENJELASANKU, MIRA!!"

"NGGAK! NGGAK! NGGAAAAK!!" Mira berteriak sambil menggelengkan kepalanya. Ia menutup rapat matanya.

"NGGAK ADA YANG PERLU DIJELASIN LAGI!! SEMUANYA UDAH JELAS!! AKU KECEWA SAMA KALIAN! AKU KECEWA SAMA KAMU, JUNI! AKU KECEWA SAMA KAMU!! KAMU BUKAN LAGI SAHABATKU!! DAN BUAT KALIAN SEMUA, AKU BENCI KALIAAN!!"

Mira dengan emosi langsung mengambil tasnya dan berjalan menuju pintu apartemen. Ia sempat menyenggol Juni hingga tanpa sengaja Juni kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh. Akmal yang berdiri tidak jauh dari tempat Juni, dengan sigap segera menangkap tubuh Juni sebelum jatuh ke lantai. Dapat Akmal rasakan bahwa seluruh badan Juni bergetar dan isakan terus terdengar.

Mira merasa tidak peduli. Dia hanya berjalan lurus melewati semuanya. Bahkan ia juga melewati Ega yang hanya bisa berdiri diam tanpa melakukan apa-apa. Mira sempat berhenti sejenak di samping Ega. Ia berbicara lirih di samping pria itu.

"Kukira kamu adalah laki-laki sejati, Ga. Nyatanya kamu sama brengseknya seperti Akmal yang menyembunyikan kebusukan kalian!"

***

Juni masih menangis. Ia meronta-ronta dalam tangisnya. Tak kuat berdiri, tubuh Juni akhirnya merosot dan terduduk di lantai. Akmal yang memegangi tubuhnya otomatis juga ikut menurunkan tubuhnya. Ia tidak lagi memegangi lengan Juni. Kini Akmal membawa Juni dalam dekapannya. Membiarkan tubuhnya juga ikut merasakan tubuh mungil Juni yang bergetar hebat. Tangis Juni terdengar begitu pilu, sehingga membuat Akmal semakin mengeratkan pelukannya.

"HUWAAAAAAA.... HUWAAAAAAAAAA!!!!" Juni masih menangis dengan meronta-ronta.

Akmal bisa merasakan kesedihan Juni yang sangat mendalam. Ia hanya bisa mengelus puncak kepala istrinya sambil berucap "sshh". Akmal pun juga sebenarnya merasa sangat sedih. Ia tidak mengira kalau hari ini akan menjadi hari dimana semua rahasianya dan Juni terbongkar oleh Mira. Padahal kalau boleh jujur, Akmal sangat ingin Mira sama sekali tidak mengetahui apa-apa agar semuanya tidak menjadi seperti sekarang. Tapi, sekalipun tupai menyembunyikan kacang kenari dan menumpuknya, apabila diketahui oleh tupai lain, tentu tidak akan bisa ditutupi lagi. Sama seperti kebohongan. Sekali berbohong dan menyembunyikan kebohongan itu, apabila telah tercium maka akan ketahuan juga.

"J-Juni, udah, Jun. Udah jangan nangis!" Akmal berusaha menenangkan istrinya yang masih menangis histeris.

"INI SALAHKU, MAL!! INI SALAHKU!! HUWAAAAA!!!" Juni terisak dalam tangisnya.

"Nggak, Jun! Bukan kamu yang salah! Ini adalah salahku! Dari awal adalah salahku!" Akmal semakin mendekap erat Juni.

Ega yang masih berada di sana hanya berdiri terdiam. Ia bingung harus melakukan apa. Ingin sebenarnya ia menyusul Mira dan membantu Juni untuk menjelaskan semua kebenaran mengenai Akmal dan Juni. Tetapi, di satu sisi, ia juga ingin menenangkan Juni yang saat ini sedang menangis histeris dan menyalahkan dirinya sendiri.

Aaargh! Kenapa jadi gini sih?!

Ega mengacak frustasi rambutnya. Ia harus mengambil tindakan. Ia harus menyusul Mira dan menjelaskan semuanya. Untuk Juni, saat ini ada Akmal. Tentu aja Akmal yang harus menenangkan Juni. Udah menjadi tanggung jawab Akmal untuk menenangkan istrinya.

"Mal, aku nyusul Mira dulu ya. Aku akan coba jelasin semuanya ke dia." Pamit Ega pada Akmal.

Akmal mengangguk. "Iya, tolong ya, Ga."

***

Mira berkali-kali memencet tombol down pada lift, berharap salah satu dari dua lift yang ada di depannya segera terbuka. Ia hanya ingin cepat-cepat pergi dari sana. Tangisnya yang ia tahan sedari tadi sudah pecah. Hatinya terasa sangat amat sakit. Bahkan, Mira dapat merasakan ada jarum kasat mata yang seolah-olah menembus ulu hatinya. Rasanya seolah tusukan jarum itu bukan hanya sekali saja, namun menjadi rujaman hujan jarum yang nantinya dapat membunuhnya perlahan-lahan.

"Hiks... hiks..." Isaknya.

Mira tidak peduli dengan sekitarnya. Ia menangis sesenggukan. Bahkan ia nggak peduli pada keadaan canggung pria asing yang ada di sebelahnya tepat saat pria itu mengamati Mira yang sedang menangis.

Ting!

Pintu lift sebelah kanan terbuka. Mira dan pria asing itu sama-sama masuk ke dalam. Suasana semakin menjadi canggung karena ternyata di dalam lift hanya ada mereka berdua. Sang pria asing dengan setelan semi formal tersebut melirik berkali-kali pada Mira. Dilihatnya tangis Mira semakin menjadi-jadi. Siyal! Kenapa juga gue bisa satu lift sama cewek ini?! Kalo ada yang lihat, bisa-bisa ada yang salah paham nih!!

"Huhuhuuuu... huhuhuuu... hiks.... hiks... huuuu... huuuu..." Air mata masih terus menuruni wajah ayu Mira.

Merasa tak tahan, pria asing itu mencoba untuk berbicara pada Mira dan mencoba menenangkannya. Meskipun ada rasa tak enak, namun rasanya lebih nggak enak lagi kalau ada wanita menangis bersamaan dengannya dan lagi saat ini posisinya sedang berada dalam lift suatu gedung apartemen. What will people think if they see a woman and a man standing in the elevator while the woman is crying?!

Jelas bakalan memberikan kesan salah paham.

"Ehem... Em, maaf, Mbak?" Ucapnya sopan.

"Hiks... hiks..." Mira nggak menjawab, tetapi hanya melihat sekilas pria itu.

"Sorry nih sebelumnya, em, tapi apa Mbaknya sedang ada masalah?"

Mira nggak segera menjawab pertanyaan pria asing di depannya. Ia hanya masih terus menangis. Mendengar kata 'masalah', tangis Mira semakin menjadi. Ia kembali sesegukan hebat dan isaknya menjadi lebih parah. Dan hal tersebut sukses membuat si pria asing semakin panik dan merasa tidak enak.

Duh! Dia jadi tambah nangis! Mana bentar lagi sampe lobby lagi!!!

"Eh.. A-anu... Sorry! Sorry! Sorry, kalo saya semakin bikin Mbaknya nangis. Saya nggak bermaksud apa-apa kok! Niat saya awalnya cuma pengen menghibur Mbak biar nggak nangis ngejer kayak gini!" Ucap pria itu gelagapan.

"HUWAAAAAAA!!!"

Pria itu makin kalap dilanda kebingungan. Parahnya, lift yang dinaiki sudah sampai lobi dan tinggal menunggu terbuka. Laki-laki itu panik. Ia lantas mengarahkan tangannya menuju tombol close door, ia harus menahan lift tertutup terus agar tidak ada orang lain yang melihat dan memungkinkan menjadikannya salah paham.

Gila!! Harus sampai kapan gue mencet nih tombol biar orang-orang nggak bisa masuk! Cewek di belakang gue ini juga! Ngapain pake nangis segala dalam lift! Dikira ini sinetron apa!!

BRUK!!

Pria itu berhenti mendumel dalam hati ketika mendengar bunyi benda jatuh berasal dari belakangnya. Ia lantas menoleh dengan cepat dan melihat Mira yang tadi menangis, kini pingsan tepat di hadapannya.

"O..Ow!" Ia mengerjapkan mata berkali-kali tak percaya. "Siyal!! Sekarang dia malah pingsan! Oh shit!"

***

Siapakah pria yang sedang bersama dengan Mira?? Penasaran?? Samaaa!!! Aku juga penasaran wkwkwkwk....
Yaah nantikan aja yaa chapter selanjutnyaa... dadaah! 👋👋👋

JUNITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang