35 - Ternyata

289 50 17
                                    

Eunji

"Terlalu pagi buat mikirin gue,"

Kepala gue mendongak kala dengar kata-kata itu, ah sama suaranya yang tidak lagi asing.

"Diam." Gue malas menanggapinya. Tekad gue cukup bulat untuk gak lagi berurusan sama dia. Terserah deh orang mau bilang apa. Tapi ini untuk kebaikan banyak orang. Kebaikan gue, dia juga, dan yang lainnya.

Dia duduk di depan meja gue. "Kenapa bengong?"

"Bukan urusan lo," sahut gue sinis, lalu mulai membuka buku yang tadi gue diamkan mejeng di atas meja.

Dia tertawa. "Rasanya kayak berada di awal lagi. Meski waktu itu juga bukan awal. Tapi sikap sinis lo yang kayak gini, bikin gue ingat sama awal-awal kelas 12." Katanya mengenang. Dan ia turut mengajak gue mengenang tanpa gue sadari.

Kejadian di lapangan upacara, di koridor sekolah, di kelas. Rasanya baru kemarin semuanya terjadi. Dan sekarang, kelas 12 sudah hampir berakhir.

"Kenapa, Ji? Lo mau ulang lagi? Kayaknya gue juga. Gue mau lo ajak ribut terus, kok. Daripada dianggap gak ada."

"Udah?"

"Belom,"

"Gue sibuk!" Kata gue berusaha mengusirnya. Tetapi percuma, dia gak bergerak sedikitpun dari kursi itu. Kecuali kalau gue siram dia pakai air got, baru deh gue yakin dia bakal pergi.

"Jangan terlalu keras. Lo udah berusaha yang terbaik."

"Berusaha aja belum cukup! Harus berhasil dulu." Gue jadi menyahut panjang kan.

Chanyeol mengangguk. "Lo benar. Itu makanya gue belum berhenti sampai sekarang,"

Gue mengernyit. Tetapi gak mau bertanya lebih jauh. Karena gue harap dia bangkit dari kursi itu, angkat kaki menjauhi gue, dan gak lagi muncul di depan gue.

"Bahkan gue gak boleh istirahat sebentar aja," dia berkata lagi. Kali ini menunduk. Seakan ada contekan kata-kata di sepatunya.

"Gue takut dia pergi,"

"Dia yang lo maksud gak akan pergi kalau lo ada sama dia terus!" Gue bangkit dari kursi gue. Beberapa orang di kelas memandang gue, namun kembali sibuk pada urusannya lagi.

Gue menghela napas. Gak ngerti kenapa tiba-tiba aja jadi emosi.

"Dia yang berusaha lari, bahkan ngusir gue."

"Dengar ya, Park Chanyeol! Gue beneran kagak ngerti lo lagi ngomong apaan. Gue bukan duta cinta, jadi jangan curhat sama gue. Juga, gue bukan ahli sastra yang bakal paham bahasa kiasan lo itu. Berhenti gangguin gue!"

Saat ini gue jadi gak ngerti, siapa yang sebenarnya aneh. Gue, atau dia?

Dia cuma mau ngobrol sama gue, tapi gue malah marah. Gue harusnya gak begitu kan?

Amarah memengaruhi pikiran gue.

Amarah yang tercipta entah dari apa.

**

Sore-sore, ketika gue melewati kelas Seulgi dan menghampirinya untuk ajak turun bareng, gue melihat dia menangis.

Gue masuk ke dalam. Kelasnya sudah sepi. Hanya ada dia. Sendirian.

Gue menyentuh pundaknya. Dia terisak, kepalanya menunduk seakan ingin bersembunyi.

Dalam urusan menenangkan seseorang yang sedang menangis, gue bukan jagonya. Gue bingung harus gimana kalau ada yang nangis. Jadi gue cuma mengelus pundaknya sambil memeluknya.

Jelas ada yang tidak baik-baik saja pada Seulgi. Tangisnya membuat hati gue rasanya ikut teriris. Rasa sakitnya seakan dapat gue rasakan di dalam sana. Mengoyak dan merusak hati.

Sing For YouWhere stories live. Discover now