Dengan make up tipis, wajah natural Alfina terlihat semakin cantik. Rambutnya dikonde rapih tetapi menyisakan poni dan helaian rambut dimasing - masing dekat telinganya. Tak lupa gelang pemberian Alfin, ia pakai saat ini.

Alfina yang datang sendirian menjadi semakin aneh dengan suasana ini. Musik yang memutarkan lagu jazz, pasangan yang berdansa tak lupa orang - orang yang berkumpul membicarakan sesuatu.

Karena merasa ramai, Alfinapun lebih memilih meninggalkan acara promnight yang berlangsung di aula sekolahnya itu dan duduk dikursi taman sekolahnya.

"Disini sepi dan nyaman." Ucapnya yang menyukai keheningan.

Lama Alfina berdiam, ia hanya menatap bintang yang berkedip bergantian di atas langit yang jauh disana.

"Alfina?"

Seseorang memanggil. Alfina menoleh menatap seseorang yang berdiri tak jauh darinya. Iapun kaget juga menatap seseorang yang memanggilnya tadi. "Alfin?"

-------------
"Uhuk, duh kepala gue pusing banget ya?" Lian mengambil kembali tissue diatas nakas lalu menempelkannya dihidung agar lendir didalam hidungnya keluar.

Lian menatap jam di dinding kamarnya. "Udah pukul sembilan. Acara pasti udah mulai dari dua jam yang lalu. Semoga Alfina baik - baik aja deh."

Sahabat sejati. Walaupun dirinya sedang sakit ia tetap memikirkan sahabatnya yang sedang sendirian.

Lianpun membuang tissue tadi kedalam tempat sampah dikamarnya. Lalu mencoba membaringkan tubuhnya lagi karena pusing yang bermunculan jika ia tetap dalam kondisi duduk.

---------
Setelah menatap diri masing - masing. Alfinpun berjalan mendekati Alfina, pakaian Alfin hampir sama seperti lelaki yang berada disekolahnya.

Jas berwarna hitam, celana hitam, sepatu hitam tak lupa dasi kupu - kupu yang berwarna putih. Rambutnya mungkin diberi pomade karena rapih sekali.

"Al, gue boleh duduk?" Alfin bertanya.

Alfina mengangguk, "Boleh, duduk aja."

Alfinpun duduk. Tetapi suasana kembali hening. Mereka bersama tetapi tetap terdiam pada pikiran masing - masing.

"Lo" Ucap keduanya bersamaan.

Mereka saling tatap lagi.

"Lo duluan aja." Ucap Alfina setelahnya.

Alfin menggeleng, "Ngga, lo duluan."

"Ngga deh, gue lupa mau bicara apa." Ucap Alfina bohong.

Alfin mengangguk akhirnya ia akan berbicara terlebih dahulu.

"Gue.. sebenarnya ngga yakin setelah denger cerita ini reaksi lo ke gue kayak gimana. Tapi..-"

"Tapi apa?" Alfina bertanya.

Alfin menatap Alfina, "Tolong denger dan jangan bersuara sampai cerita gue selesai ya Al. Gue mohon."

Alfina mengangguk.

"Lo ingat guekan? Gue Alfin." Ucap Alfin menatap Alfina.

Alis Alfina menyatu, perempuan itu kebingungan. "Iyalah lo Alfin. Emang lo siapa?"

Alfin tersenyum, "Gue Alfin. Alfin yang selalu bareng sama lo di taman kanak - kanak, Alfin yang selalu ketemu lo disaat kita pulang sekolah dasar dan kita janjian di taman kanak - kanak, Alfin yang selalu main bareng sama lo, Alfin yang..."

Alfina menatap Alfin tak percaya, ia benar bahwa Alfin ini adalah Alfinnya dahulu.

"Alfin yang pergi diam - diam ke Bandung karena ngga mau lihat lo sedih. Maafin gue Al." Alfin menunduk.

Tanpa diketahui sebulir air mata turun pada pipi Alfina tanpa izin. Alfina terdiam masih ingin mendengarkan penjelasan Alfin.

"Di Bandung tanpa semua orang ketahui awalnya. Gue mengalami kecelakaan dan itu ngebuat gue lupa ingatan tentang semua hal yang berkaitan denngan lo. Jadi, maafin gue saat kita ketemu di hari pertama sekolah itu gue ngga kenal lo." Alfin masih menunduk.

"Saat hari itu kita ngga sengaja bertemu lagi di kantin, secercah rasa penasaran menyelimuti hati gue buat tau siapa lo sebenarnya. Tanpa gue sadari ternyata lo udah kenal sama Rio yang notabennya adalah tetangga gue. Akhirnya gue kenalan sama lo lewat Rio. Tapi.." Alfin terdiam ia mengambil nafas panjang.

"Tapi apa?" Suara Alfina serak.

Alfin tau bahwa Alfina menangis sejak beberapa menit yang lalu. "Tapi gue akhirnya bertemu lo lagi di gedung belakang sekolah dan semenjak lo pegang lengan gue karena tidak kesengajaan itu, satu persatu kenangan kecil kita muncul dengan sendirinya. Dan hal itu ngebuat gue ingin lebih dekat sama lo agar kita sedekat dulu. Kayaknya takdir udah berkata lain Al. Tanpa gue sadari tapi gue rasakan kayaknya Rio suka-"

"Cukup!" Alfina berucap tiba - tiba membuat Alfin terdiam dan akhirnya menatap wajah Alfina yang penuh air mata.

"Al maafin gue." Alfin memegang lengan Alfina.

Alfina menggeleng, "Kenapa lo ngga berani bilang kalau lo kecelakaan di Bandung? Apa lo tau gue menderita karena cuma gue yang bahagia sama masa kecil kita. Kenapa sih lo ngga bilang? Kan gue bisa ceritain dari awal."

"Tapi gue akhirnya ingat semuanya Al."

"Kalau lo udah ingat semuanya kenapa lo ngga bilang ke gue? Kenapa lo hanya diam aja dan ngebuat gue menjadi orang asing bagi lo? Gue paham lo kecelakaan tapi gue kecewa bener - bener kecewa." Alfina berdiri.

"Al gue minta maaf karena gue punya alasan untuk pertanyaan lo yang satu itu jadi tolong duduk dan dengerin alasan gue." Alfin memohon.

"Ngga perlu alasan lagi, itu semua udah cukup bagi gue bahwa elo Alfin lo...." Alfina menatap Alfin, perempuan itu melepas paksa genggaman Alfin dilengannya, "Lo itu..." Alfina menggeleng lalu berlari menjauhi Alfin untuk pulang kerumahnya. Sudah seharusnya ia tidak datang ke acara promnight ini. Alfina kecewa.

Melihat Alfina lari, Alfin mengikuti Alfina namun sayang perempuan itu sudah menaiki taksi yang kalah cepat dari larinya. Alfin terduduk di aspal pandangannya menatap pada taksi didepannya yang sudah semakin tak terlihat.

"Alfina, maafin gue." Ucap Alfin yang masih mengatur nafasnya naik turun.

----------
Hai! Update cepetkan? Heheh hari ini ngga ada curcol heheh doakan saja gue sama dia... ah ngga deh kita cuma temen kok heheh. Bubay .

Childhood MemoriesWhere stories live. Discover now