19. The Day the World Went Away II

1.3K 269 9
                                    

Aku yakin pria tua itu sebenarnya tak ingin memperlihatkan kesan demikian. Namun, aku dapat melihatnya dengan jelas. Aku sendiri bukan seorang ahli psikologi yang dapat menilai sikap serta perasaan seseorang secara tepat. Namun, untuk hal-hal yang mendasar, kurasa semua orang jug abisa melakukannya, termasuk diriku.

Pria tua itu mengepalkan kedua tangannya, seolah-olah sudah siap untuk meninju diriku hingga terhempas ke belahan samudra. Namun, aksinya itu digantikan oleh pertanyaan sederhana.

"Kalau kau mengetahui hal itu, berarti kau sendiri sudah melihatnya, ya?"

Aku mengangguk, menandakan bahwa tebakannya memang tepat. Namun, pria tua itu hanya menampilkan tatapan kosong sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan. Sekali lagi, aku dapat melihat rasa kesal, takut dan kecewa dalam dirinya.

Aku berlari kecil, berusaha menyamakan jarakku dengannya, hingga akhirnya langkah yang kami buat kembali seirama.

"Kurasa aku baru melihat sebagian kecil yang ada di dunia ini. Bisa kau ceritakan padaku apa yang sebenarnya teradi?"

Pria tua itu kembali menjadi orang yang menyebalkan dengan tidak menjawab pertanyaanku.

"Hei, Pak."

Pria tua itu masih berjalan dengan langkahnya yang berjarak tetap.

"Jika kau tidak menjawab pertanyaanku, aku bersumpah akan membunuhmu."

Akhirnya, pria tua itu diam.

Dia berbalik, mengerutkan keningnya, memperhatikan tindakanku yang bodoh seraya berkata, "Benarkah? Wow."

Hah?

Sialan, apakah ketika diriku tua nanti juga aku akan menyebalkan seperti orang ini? Duh, dari cerita yang Aksa42 berikan, kupikir pria tua ini akan berpenampilan layaknya seorang laki-laki yang bijak. Kenyataannya? Dia lebih brengsek dari diriku.

Perjalanan yang sedari tadi kami lakukan akhirnya berujung pada sebuah titik kegelapan. Tidak, bukan dalam makna konotasi, tapi denotasi. Gua yang gelap terpampang di hadapan kami. Aku yang masih belum mengerti kenapa pria tua itu mengajakku untuk masuk ke sini sempat menghentikan langkah. Namun, pria tua itu berjalan seolah tak ada kendala.

Akhirnya, aku terpaksa mengikutinya karena tak ingin tersesat di dalam hutan seorang diri.

Semakin dalam, pencahayaan yang diberikan semakin minimum. Sejauh mata memandang, aku hanya dapat melihat kegelapan di tengah udara yang lembab. Bajuku seolah-olah basah akibat embun yang menghinggapi seluruh permukaan bajuku.

Namun, semua itu berubah ketika sang pria tua menyalakan sebuah tombol, membuat pencahayaan yang menimbulkan kesan berbeda seratus delapan puluh derajat. Kegelapan tadi kini berubah menjadi cahaya yang terang benderang, aku dapat melihat jalanan yang menelusuk ke dalam gua ini semakin dalam tanpa perlu merasa ketakutan.

Aku terkejut.

"Kau membangun tempat ini!?" tanyaku, setengah berteriak dengan sisiran bola mata ke tiap penjuru.

"Bukan, aku menemukan tempat ini. Kurasa bekas perang dunia."

"Dan masih berfungsi setelah ratusan tahun ditinggalkan?"

"Aku hanya perlu memperbaiki generatornya."

Kutelisik kembali seluruh pemandangan yang menakjubkan ini. Aku memang pernah tinggal di laboratorium bawah tanah yang sengaja dibuat untuk melakukan penelitian. Namun, aku tak pernah menemui hal yang seperti ini, sebuah gua yang dipadu dengan teknologi, menimbulkan kesan keindahan yang nyata antara situasi alam dan buatan.

3141 : The Dark Momentum [Selesai]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt