6. Perfect World

2.2K 405 18
                                    


Harapanku tidak terkabul, itulah pikiran pertamaku ketika aku berhasil membuka kedua mataku.

Aku masih berada di tempat yang asing. Aku sangat mengingat tempat ini di duniaku. Ruangan bercat putih memanjang dengan beberapa ornamen di dalamnya untuk memperindah ruangan, selain itu memang digunakan untuk berbagai keperluan. Seperti etalase, karpet, dan benda-benda murah lainnya. Walaupun pada malam hari aku tak dapat melihat keadaan ruangan ini dengan jelas, namun pemandangan yang disuguhkan padaku pagi ini membuatku yakin bahwa ini merupakan sekre bagi anak-anak fisika.

Artinya, jika pagi ini akan diadakan kuliah, maka beberapa mahasiswa akan mengunjungi tempat ini hanya untuk bersantai sebelum masuk kelas. Sama sepertiku dulu yang hampir selalu bermain kartu bersama teman-teman seperjuanganku.

Jadi, dengan baju yang kusut, aku segera membereskan penampilanku. Menyisir rambutku dengan jari-jariku yang besar dan merapikan pakaianku. Suasana Bandung di pagi hari memang biasanya dingin, membuat kakiku yang telanjang terasa sedikit membeku.

Aku menggesekan kedua lenganku kemudian mengeluarkan napas kecil melalui mulut. Baiklah, orang-orang akan curiga jika aku berada di ruangan ini. Jadi, aku memang berniat untuk segera keluar dari ruangan ini.

Aku segera keluar ruangan, tentu saja aku menutup pintu sekre itu, sebagaimana norma kesopanan yang telah kujungjung tinggi sejak lama. Mataku menyisir keadaan, menengok ke kiri dan ke kanan. Aku tidak tahu jam berapa sekarang ini, namun suasana di gedung fakultas ini cukup sepi. Ah, tapi aku merasa beruntung karena aku tak dapat membayangkan pikiran orang-orang yang melihatku bertelanjang kaki.

Aku menyusuri lorong dan melewati beberapa ruangan. Aku dapat mendengar suaraku yang menggema di dalam ruangan. Ya ampun, aku benar-benar merasa aneh. Seolah-olah aku adalah jiwa yang hilang dan kabur dari ragaku sendiri, kemudian melihat seluruh aktivitas yang dilakukan oleh ragaku.

Tak hanya dari sebuah ruangan, aku dapat mendengar suaraku dari beberapa ruangan.

Uh, ini benar-benar mengerikan.

Tiba-tiba, di tengah perjalananku terbesit sesuatu yang mengganjal dalam otakku.

Bagaimana dengan segala perlengkapan yang mereka butuhkan sehari-hari? Mereka pasti membutuhkan berbagai macam bahan makanan untuk dimasak pada pemasak otomatis, kan? Lalu dengan pakaian mereka, tak mungkin mereka menggunakan baju yang sama setiap harinya, kan? Pasti mereka pernah membelinya.

Di kotaku, maksudku kota yang berada di duniaku, kami memiliki pusat perbelanjaan di pusat kota. Ya, tempat itulah satu-satunya yang diperbolehkan bagi para pedagang untuk menjajakan dagangannya. Tempatnya tak terlalu jauh dari labolatoriumku. Dan sekali lagi, jika memang tata kota di dunia ini sama dengan duniaku, maka aku pasti bisa mendapatkan baju dan sepatu layak pakai. Namun, artinya aku harus memiliki uang, kan?

Jadi, bagaimana caraku mendapatkan uang?

Jika aku harus mengemis, maka tak akan kulakukan. Biarpun mungkin seluruh manusia di kota ini sangat dermawan seperti Aksa42, namun karena aku tak pernah melihat adanya seorang gelandangan yang meminta uang dari pejalan kaki, kurasa usaha seperti itu akan sia-sia. Mungkin pada akhirnya aku malah akan berakhir di sebuah tempat rehabilitasi dan memaksaku untuk memiliki sebuah keterampilan sederhana seperti menjahit pakaian.

Aku benar-benar merasa seperti diasingkan, bagaikan tawanan perang yang dibuang ke antah berantah. Dan sekarang, aku kembali terlihat seperti orang gila yang linglung karena tak tahu harus berbuat apa.

Ah, aku baru menyadari betapa sepinya lorong ini. Tak ada sama sekali mahasiswa yang berlari dengan tergesa-gesa karena terlambat memasuki kelas atau seorang dosen yang dengan santainya akan memasuki kelas padahal dia sudah terlambat beberapa menit. Apakah semua orang di tempat ini memiliki disiplin yang tinggi?

3141 : The Dark Momentum [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang