SEMBILAN BELAS : Revano Yang Serius

Start from the beginning
                                    

Luna memutar bola matanya malas. "Alesan doang."

"Oh, kirain."

Baru saja dua langkah keduanya berjalan, tiba-tiba ada seseorang yang memanggil nama Luna.

Baik Luna maupun Mario menoleh ke sumber suara, mendapati Raja, si atlet voli yang bertubuh jangkung menghampiri keduanya.

Cowok bernama lengkap Alegio Darmaraja itu tersenyum, matanya yang beriris biru menatap Luna dengan pandangan berbinar-binar. Seperti anak kecil yang mendapatkan permen lollipop berukuran besar.

"Hai, Na, Mar."

Mario mengerjapkan matanya beberapa kali, ia pikir Raja tidak akan menyapanya. "Hai."

"Bareng, boleh?"

Mario meringis. Lebih baik ia duluan saja daripada mengganggu, ditambah matanya menangkap sosok Revano yang masih mengenakan jaket kulit berwarna hitam.

"Eh, gue duluan."

Tanpa menunggu jawaban Luna maupun Raja, Mario melesat dan hampir saja menabrak punggung Revano gara-gara cowok itu tiba-tiba berhenti melangkah.

"Lo ... nggak ilfeel sama gue kan?" tanya Raja ragu-ragu.

"Ilfeel?" Luna mengernyitkan dahi tidak mengerti.

"Maksudnya, lo nggak risi atau gimana gitu kalo gue nyapa lo atau semacamnya."

Luna menggeleng kecil, lalu menjawab singkat. "Nggak."

Raja langsung tersenyum lebar, menampilkan giginya yang putih dan berderet rapi. "Syukur kalo gitu. Oh ya, tumben cuma berdua. Giselnya mana?"

"Gisel sakit," jawab Luna seadanya.

"Sakit apa?"

"Alergi."

Raja memilih bungkam, lagipula kelas Luna sudah di depan mata. Sehingga waktu keduanya untuk berbicara otomatis terpotong.

"Gue duluan."

"Oke. Semangat, Na."

Luna menatap Raja yang kini tersenyum lebar kembali, sedetik kemudian cowok itu mengedipkan sebelah matanya.

"Kalo lo butuh semangat setiap saat, gue selalu siap."

Senyum lebar Raja berubah menjadi senyum penuh arti. Luna tidak mengerti ketika ada gemuruh aneh di dalam dadanya, rasa hangat yang sudah tak dirasakannya sejak lama menjalari hatinya.

Apakah ini karena Luna sudah membuka hatinya?

Luna tidak tahu pasti, tapi ia berharap bahwa semua itu akan memberikan pengaruh yang positif kepadanya.

Luna memerhatikan Raja yang semakin jauh dan hilang ketika berbelok di koridor.

"Jadi karena ini?"

Luna berbalik ketika mendengar suara bergetar yang terdengar familiar di telinganya. Agnes menatap dari bulu matanya yang lentik, tampak sendu dan sedih.

"Jadi karena ini?" ulangnya.

"Ini nggak ada hubungannya sama Raja," balas Luna dingin.

"Tapi kelihatannya enggak, Na."

"Agnes, bukannya udah gue bilang buat urus urusan sendiri-sendiri aja?"

Agnes menyelipkan anak rambutnya yang hitam sekelam malam di telinga. Ekspresinya muram.

"Terus kenapa? Lo harusnya jelasin, Na."

Luna mengembuskan napas lelah, tidak menyangka hal ini akan menjadi rumit. Ia pikir jika hubungan dengan Agnes sudah berakhir, maka semuanya selesai.

Tetapi nyatanya tidak.

"Gini ya, Agnes. Gue udah capek sama hal-hal berbau belok. Dan kalau boleh jujur, gue juga capek sama lo."

Luna menekankan tiga kata terakhir yang diucapkannya, berharap Agnes mengerti dan pergi.

Agnes memalingkan muka, mencoba menyembunyikan matanya yang terasa panas dan siap meneteskan air mata.

"Jadi," ucapnya parau, "jadi ini keputusan lo?"

Luna mengangguk mantap.

Agnes menyeka air matanya yang terlanjur turun, memaksakan sebuah senyum kecil. "Oke."

Luna hanya bisa mengembuskan napas berat, mengangkat bahu tidak peduli.

Ketika ia berbalik, Luna mendapati Revano sudah berada di belakangnya dengan tangan terlipat di dada.

"Menarik. Gue kira lo bakal langgeng sama dia," ucapnya.

Luna mencoba mengabaikan keheranannya soal Revano yang mengetahui ia tidak 'lurus', paling-paling​ Mario yang memberitahunya.

"Lo sendiri?"

Revano mengangkat sebelah alisnya​ yang tebal. "Gue harap sama Mario bakalan lama."

Luna berkacak pinggang, tatapannya berubah menjadi galak. "Lo cuma pura-pura ya? Maksud gue, suka sama cowok lagi?"

Revano tertawa kecil. "Ya enggak lah, gue bener-bener sayang sama dia. Jangan berburuk sangka, gue bakal jagain Mario sekuat yang gue bisa."

"Tapi gue nggak yakin," balas Luna keukeuh.

"Gue serius."

"Tapi gue masih nggak yakin."

"Luna, bisa nggak lo biarin gue ngerasa sayang ke seseorang? Jujur, boro-boro sayang, percaya ke orang lain aja gue susah.

"Gue nggak pernah main-main soal perasaan, kalo itu yang lo duga. Perasaan itu bukan bahan bercanda atau humor, gue bener-bener sayang sama Mario.

"Lo nggak bakalan ngerti gimana rasanya skeptis sama yang namanya cinta terus nemu seseorang yang bisa bikin rasa itu balik. Gue seneng, gue bahagia."

Luna dapat melihat kesungguhan yang terpancar di mata Revano, cowok itu tidak main-main.

"Setiap orang yang kayak gue punya alasan sendiri, lo juga punya kan?"

Luna bungkam, tidak mampu menjawab.

"Jadi, seperti yang lo omongin ke Agnes, urus aja urusan masing-masing."

Revano pergi dengan rahang mengeras, meninggalkan Luna yang berpikir.

Meskipun malas mengakui, apa yang dikatakan Revano ada benarnya. Perasaan yang hadir setelah kita merasa skeptis terhadap sesuatu itu begitu menyenangkan, seperti yang dirasakan Luna kini.

Luna menoleh, menatap Mario yang tersenyum dan melambaikan tangan ke arahnya dari dalam kelas. Dia tampak bahagia.

Dan Luna, tidak sampai hati untuk merusak kebahagiaan itu.

***

StraightWhere stories live. Discover now